Di era ketika satu swipe bisa membuka dunia hiburan tanpa batas, anak-anak tak lagi tumbuh di antara buku dan papan tulis, melainkan di antara algoritma dan notifikasi. TikTok, dengan konten berdurasi singkat dan ritme yang cepat, telah menjadi guru baru bagi generasi muda, sayangnya bukan guru yang mengajarkan logika, etika, atau literasi, melainkan popularitas, eksistensi, dan validasi instan.
FYP Lebih Menarik dari Buku Pelajaran
Anak-anak kini lebih hafal gerakan dance viral daripada rumus matematika. Mereka mengulang koreografi, bukan konsep IPA. Mereka menghafal lirik remix, bukan definisi sejarah. Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi gejala dari pergeseran fokus belajar yang serius. Konten FYP TikTok dirancang untuk memikat perhatian dalam hitungan detik, dan bagi otak anak yang masih berkembang, ini adalah jebakan yang sulit dihindari.
Psikologi di Balik Swipe
Dari sudut pandang psikologi pendidikan, anak usia 10--12 tahun sedang mengalami lonjakan perkembangan di area otak yang mengatur pencarian "social reward" atau pengakuan, pujian, dan perhatian dari orang lain. Menurut American Psychological Association, bagian otak seperti ventral striatum dan ventral pallidum menjadi sangat aktif saat anak menerima perhatian sosial, membuat mereka lebih sensitif terhadap konten viral dan pujian digital.
Inilah mengapa TikTok terasa lebih "menggairahkan" daripada pelajaran di kelas. Satu video yang viral bisa memberi sensasi diterima, sementara satu nilai ujian hanya memberi angka tanpa emosi. Anak-anak tidak malas belajar akan tetapi mereka hanya sedang tertarik pada sesuatu yang memberi mereka rasa dihargai.
Pendidikan yang Tersingkir
Di tengah euforia konten viral, pendidikan formal sering kali kalah pamor. Guru dianggap membosankan, buku pelajaran terasa berat, dan ruang kelas menjadi tempat yang tidak memberi kepuasan emosional. Anak-anak mulai mengukur nilai diri bukan dari pemahaman, tapi dari popularitas. Mereka lebih bangga ketika videonya masuk FYP daripada ketika mendapat nilai bagus di ujian.
Ironisnya, banyak pendidik dan orang tua belum menyadari bahwa ini bukan sekadar "anak kecanduan TikTok", tapi gejala dari sistem yang gagal bersaing dengan daya tarik dunia digital.
Apa yang Bisa Dilakukan?
- Relevansikan pendidikan: Guru perlu mengaitkan materi pelajaran dengan dunia nyata dan digital yang dekat dengan anak.
- Literasi digital sejak dini: Anak perlu diajarkan cara memilah konten, memahami dampaknya, dan mengelola waktu layar.
- Fokus pada proses, bukan hasil: Pendidikan harus memberi ruang eksplorasi dan penghargaan terhadap usaha,Â
Kesimpulan
Ketika anak-anak lebih hafal gerakan TikTok daripada rumus pelajaran, kita sedang menghadapi krisis kognitif yang tak bisa diabaikan. Pendidikan harus beradaptasi, bukan menyerah. Dunia digital tak bisa dihindari, tapi bisa diarahkan. Jika tidak, kita akan kehilangan generasi yang tahu cara viral, tapi lupa cara berpikir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI