Mohon tunggu...
Anggi Kristina Agustin
Anggi Kristina Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi(24107030147)

tulisan untuk menuangkan pemikiran dan perasaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Semangkuk Seblak: Healing Praktis Ala Gen Z

5 Mei 2025   09:57 Diperbarui: 5 Mei 2025   09:57 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seblak Kegemaran Gen Z (Sumber: idnitimes.com)

Beberapa tahun belakangan ini, kata “healing” seolah menjadi mantra wajib di kalangan Gen Z. Setiap kali stres, overthinking, atau lelah dengan rutinitas, solusi pertama yang muncul bukan lagi jalan-jalan keluar kota atau menginap di vila mewah, tetapi mencari makanan enak. Dan dari sekian banyak pilihan kuliner, seblak muncul sebagai “pelarian” yang paling dicari. Bukan cuma karena rasa pedasnya yang nendang, tetapi karena seblak menawarkan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan dengan logika, serta mewakili amarah dan tekanan yang tidak bisa dideskripsikan. 

Seblak, makanan khas Bandung yang berbahan dasar kerupuk basah yang dimasak dengan bumbu kencur dan cabai, kini hadir dengan berbagai topping kekinian. Seperti ceker, bakso, telur, sosis, macaroni, mie, bahkan keju, semuanya bisa masuk ke dalam semangkuk seblak. Kini menjelma menjadi “teman setia” di tengah tekanan kehidupan modern. Tapi kenapa sih, makanan ini bisa jadi pelarian banyak anak muda khususnya para perempuan?

Sebagian besar Gen Z tumbuh di era penuh distraksi dan ekspektasi. Di satu sisi mereka dituntut untuk produktif, kreatif, dan sukses di masa muda. Di sisi lain, mereka juga punya luka batin, keresahan sosial, hingga tekanan ekonomi. Dalam kondisi seperti itu, banyak dari mereka yang butuh tempat healing, bukan sekadar liburan mewah, tapi ruang sederhana untuk bernapas.

Saya pribadi sering melihat teman-teman perempuan di Instagram Story atau TikTok membagikan momen mereka makan seblak sambil menulis caption “ Apapun masalahnya, seblak solusinnya”. Bahkan di kota-kota besar, warung seblak dengan konsep aesthetic mulai bermunculan. Ada yang menyediakan tempat duduk lesehan dengan musik lo-fi, bahkan sudut-sudut yang instagramable. Makan seblak tak lagi sekadar rasa, tetapi juga pengalaman. Dan bagi Gen Z, tempat yang nyaman untuk venting, bercanda, dan merasa diterima adalah bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.  Seblak yang dulu hanya dianggap jajanan pinggir jalan kini naik level jadi bagian dari gaya hidup anak muda.

Seblak menjawab semua kebutuhan itu. Makan seblak bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan yang paling penting murah meriah tapi memuaskan. Sensasi kuah panas yang pedas, tekstur kerupuk yang kenyal, dan kolaborasi rasa yang kompleks seolah menciptakan pelarian instan dari dunia nyata. Serta sensasi ‘terbakar’ di mulut menjadi bentuk release tersendiri. Bukan hanya tubuh yang berkeringat, tetapi juga hati yang sedikit lebih ringan.

Menurut para ahli, ada alasan ilmiah di balik efek menyenangkan dari makanan pedas. Saat kita makan makanan pedas, tubuh melepaskan hormon endorfin senyawa kimia alami yang menciptakan perasaan bahagia. Endorfin inilah yang membuat banyak orang merasa lebih rileks dan lega setelah menyantap seblak yang super pedas. Mungkin itulah sebabnya seblak terasa lebih dari sekadar makanan, seblak menjadi teman di saat otak penat, hati lelah, dan pikiran tak menentu.

Saya pribadi sering melihat teman-teman perempuan di Instagram Story atau TikTok membagikan momen mereka makan seblak sambil tertawa, berkeringat, bahkan curhat satu sama lain. Salah satu teman saya pernah menulis caption, “Habis nangis semalaman, besoknya makan seblak level 5, aman.” Seblak menjadi semacam comfort food yang bukan hanya memuaskan perut, tetapi juga merangkul emosi.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana anak muda Indonesia khususnya Gen Z memaknai healing dengan cara yang lebih membumi dan sederhana. Mereka tidak selalu membutuhkan tempat mahal atau suasana eksklusif untuk bisa merasa lebih baik. Kadang, cukup dengan duduk bersila di warung kecil pinggir jalan, ditemani sahabat, sambil mengaduk semangkuk seblak panas, itu sudah menjadi bentuk terapi paling jujur dan manusiawi.

Saya masih ingat suatu sore di sebuah warung seblak kecil di pinggiran kota. Di sebelah saya, terdapat sekelompok perempuan muda yang tertawa lepas dengan wajah yang penuh keringat. Salah satu dari mereka berkata, ”Aku tuh abis dimarahin orang tuaku karena makan seblak mulu, tapi sumpah seblak ini nyelamatin hariku.” Saya hanya tersenyum, karena saya paham betul rasanya.

Di tengah dunia yang semakin bising, di mana luka batin tak selalu bisa dibicarakan secara terbuka, semangkuk seblak hadir sebagai pelukan hangat yang sederhana. Dan mungkin, itu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun