"Ibunya dimana sekarang?"
"Kakakku nggak mau ikut campur, sudah nyerah, tetapi aku tadi sudah menelponnya, aku heran anak jaman sekarang susah diatur ya, Zan."
"Memang, orang tua harus pandai-pandai menjaga mereka."
"Aku terpaksa mengambil keputusan ini, kakakku malah membuatku kesal, kalau bukan karena ingat masa kecil Nadira yang begitu manis, aku mendingan tidak ikut campur. Aku kasihan, umurnya belum genap tujuh belas tahun, kenapa mesti mendapat tanggungan anak, karena pacarnya tak mau bertanggungjawab."
Saat ini, Dira, sedang dalam penanganan dokter aborsi. Tentu saja dokter yang melakukan praktek secara ilegal. Karena di Indonesia melakukan pengguguran kandung tidak dibenarkan. Tetapi apa boleh buat. Sekolahnya masih kelas tiga SMU, dan usianya masih sangat muda.
"Kasihan," gumanku.
"Aku pernah bilang pada Kak Febby, Â untuk membatasi pergaulan anak gadisnya, batasi jam malamnya, tetapi dia cuek saja, katanya Dira kan sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya," Rosi berkisah.
"Kak Febby kerja ya, atau di rumah saja?"
"Kerja, dia karirnya sebagai produser televisi sangat gemilang, dia memang cemerlang," ujar Rosi.
Jujur aku sendiri merinding mendengar segala sesuatu tentang aborsi. Konon aborsi lebih menyakitkan daripada melahirkan. Itu karena janin yang dipaksakan lepas dari rahim sudah menempel dan menyatu di dalam rahim, lalu diiris dengan paksa. Bayi itu sudah menjadi bagian dari dinding rahim, pasti terasa sakit.
Kalau kuperhatikan di rumah sakit ilegal tadi, mereka yang antri untuk pengguguran kandungan adalah anak-anak gadis remaja. Usianya belum genap 20 tahun, bahkan ada yang baru SMP. Nafasku terasa sesak. Klinik ilegal ini melanggar hukum dan bertetangan dengan agama.