Dalam kehidupan manusia, ada sebuah organ kecil yang tak pernah berhenti bekerja; jantung. Ia berdetak tanpa henti, memompa darah, membawa oksigen dan memastikan seluruh tubuh tetap hidup. Â Tanpa jantung yang sehat, mustahil tubuh dapat bertahan hidup, apalagi berkembang. Pun begitu pula dengan negara. Pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan hibah merupakan sumber penerimaan negara dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Jika boleh dianalogikan, pajak adalah salah satu penerimaan negara yang berfungsi seperti jantung yang membuat roda kehidupan berbangsa dan bernegara tetap berdenyut di Republik Indonesia kita tercinta ini. Penerimaan negara ini bukan sekadar angka, ia adalah aliran darah yang menghidupi sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa sebagaimana undang-undang, dengan tidak memperoleh imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Dari pajak, negara membangun jalan yang kita lalui setiap hari, menyediakan sekolah bagi anak-anak, mendirikan rumah sakit, hingga membiayai gaji para guru, dokter, dan aparat keamanan. Hampir semua aspek kehidupan publik, pada akhirnya, bergantung pada keberadaan pajak sebagai salah satu sumber pendapataan Negara.
Bayangkan sejenak, sebuah kota tanpa penerangan jalan, sekolah negeri tanpa buku, atau rumah sakit tanpa tenaga medis memadai. Semua itu mungkin saja terjadi bila aliran "darah" negara ini tersumbat. Seperti halnya tubuh membutuhkan darah bersih, negara pun memerlukan sistem perpajakan yang sehat: adil, transparan, dan berintegritas. Kebocoran dalam penerimaan pajak ibarat sumbatan pada pembuluh darah---membuat jantung negara bekerja lebih berat, bahkan terancam gagal fungsi. Inilah mengapa kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak menjadi penopang utama.
Dan ketika aliran pajak berjalan lancar, manfaatnya terasa luas. Pajak yang dikelola dengan baik tidak hanya memperkuat kas negara, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik. Rakyat akan merasa yakin bahwa setiap rupiah yang disetorkan kembali kepada mereka dalam bentuk pelayanan dan fasilitas yang lebih baik.
Maka, membayar pajak sejatinya bukan hanya kewajiban formal, melainkan wujud kepedulian terhadap "jantung" bangsa. Sama seperti kita menjaga kesehatan tubuh agar tetap bisa hidup dan berkembang, demikian pula menjaga keberlangsungan pajak berarti menjaga keberlangsungan Indonesia---agar tetap kuat, mandiri, dan berdaulat.
Digitalisasi: Jalan Baru untuk Optimalisasi Penerimaan Negara
Ketika dunia semakin terkoneksi oleh teknologi, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat bertransformasi menjadi digital. Mulai dari belanja, transportasi, perbankan, hingga pembayaran pajak, semuanya bergeser menuju ekosistem berbasis teknologi. Di tengah perubahan itu, muncul pertanyaan penting: bagaimana masa depan penerimaan negara Indonesia di era digital?
Penerimaan negara, baik dari pajak maupun nonpajak, adalah darah yang menghidupi pembangunan nasional. Selama bertahun-tahun, tantangan klasik seperti keterbatasan basis pajak, kebocoran penerimaan, dan rendahnya kepatuhan menjadi hambatan utama. Namun, hadirnya teknologi digital membuka peluang besar untuk menjawab tantangan tersebut.
Transformasi digital yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) misalnya, dengan e-filing, e-bupot, hingga core tax system yang sedang dikembangkan, menunjukkan langkah konkret untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan transparansi. Dengan sistem yang lebih terintegrasi, pemerintah dapat mengawasi aliran transaksi ekonomi masyarakat secara real-time, sehingga potensi penerimaan negara lebih mudah dipetakan.