Mohon tunggu...
Angga Munandar
Angga Munandar Mohon Tunggu... Advokat

Profession as an Advocate, has a passion for political developments, Education, health and most importantly cryptocurrencies which are currently and continue to develop

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Menegur, Guru Menuntun: Martabat yang Jangan Diruntuhkan

17 September 2025   11:09 Diperbarui: 17 September 2025   11:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain & edit menggunakan bantuan AI 

Beberapa hari yang lalu, kota Prabumulih digemparkan oleh kisah seorang kepala sekolah. Berita pun cepat tersebar, kata orang ia dicopot lantaran menegur anak murid yang parkir tidak pada tempatnya. Walaupun pemerintah kota telah memberi penjelasan, bahwa mutasi hanyalah perkara biasa dalam roda jabatan, namun hati masyarakat telah terlanjur tersentuh: betapa rapuhnya kedudukan seorang guru ketika ia menjalankan kewajiban mendidik.

Menurut pemberitaan Liputan6 (16 September 2025), Wali Kota Prabumulih menegaskan isu pencopotan karena menegur murid adalah hoaks, dan bahwa mutasi kepala sekolah belum dilakukan. Klarifikasi serupa juga disampaikan oleh RMOL Sumsel dan NetralNews, yang menekankan bahwa rotasi guru adalah hal lumrah dalam penyegaran birokrasi. Meski demikian, simpang siur berita ini sudah telanjur menjadi bahan perbincangan publik.

Guru, dalam pandangan orang berilmu, bukanlah sekadar pengajar huruf dan angka. Guru itu penuntun jiwa, pembentuk akhlak, penghidup budi. Sebab itu Buya Hamka pernah berpesan, ilmu tanpa adab akan menjadi bahaya, sedang adab tanpa ilmu bagai cahaya redup yang tak dapat menerangi. Maka guru dituntut bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menghaluskan hati.

Anak dididik bukan sekadar diajar, pandai berhitung, membaca, bicara. Tetapi dibentuk budi yang besar, agar hidupnya kelak jadi cahaya.

Maka menegur seorang murid, tiadalah patut dianggap hinaan. Sebab teguran guru bukanlah celaan, melainkan obat untuk jiwa yang salah arah. Menegakkan aturan bukanlah tanda berkuasa, tetapi usaha menjaga martabat sekolah, agar anak-anak tidak tersesat dalam kesewenangan.

Guru menegur bukan menghina, guru mengingatkan bukan mencela. Teguran lembut ibarat penawar, agar jiwa kembali pada jalannya.

Namun begitulah nasib guru di tanah air kita. Sering ia ditaruh pada tempat yang sempit: dihormati kala upacara, dilupakan ketika berhadapan dengan kuasa. Padahal guru adalah tiang peradaban, yang dari tangannya lahir manusia-manusia baru.

Buya Hamka pernah berkata, guru itu laksana pelita. Ia rela membakar dirinya demi memberi terang kepada murid. Ia ibarat embun pagi, menyuburkan tanah meski dirinya lenyap terserap.

Jika guru tiada dihormati, ilmu yang diberi hilang berkat. Jika guru dijaga martabatnya, anak berakhlak, bangsa selamat.

Oleh itu, marilah kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kabar. Mari renungkan: apa jadinya negeri ini bila teguran guru dipersoalkan? Apa jadinya bangsa ini bila kewibawaan guru runtuh oleh tekanan kuasa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun