Mohon tunggu...
Angga Lestyo Wardhana
Angga Lestyo Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Halo! Selamat datang di profil saya Angga Lestyo Wardhana Saya disini mencoba untuk belajar menulis artikel, jika cara penulisan saya masih kurang tepat tolong dikoreksi dengan menghubungi saya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hak Regres: Antara Solidaritas dan Eksploitasi dalam Perjanjian Jaminan Saatnya Lindungi Penjamin dari Menjadi Korban Kedua

27 September 2025   19:51 Diperbarui: 27 September 2025   19:51 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: ANGGA LESTYO WARDHANA

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Dalam praktik perjanjian utang-piutang, posisi penjamin sering kali dipuji sebagai wujud solidaritas dan loyalitas. Ia hadir sebagai "penolong" ketika debitur utama tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk meyakinkan kreditur. Namun sayangnya, di balik narasi mulia tersebut, penjamin justru kerap berubah menjadi korban kedua ketika debitur gagal memenuhi kewajibannya. Di sinilah urgensi menguatkan penerapan hak regres---sebagai instrumen perlindungan hukum agar peran solidaritas tidak berubah menjadi eksploitasi terselubung.

Secara sederhana, hak regres adalah hak bagi penjamin untuk menuntut kembali pembayaran yang telah ia lakukan kepada kreditur akibat wanprestasi debitur. Dalam sistem hukum Indonesia, dasar hak ini dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya terkait borgtocht (penanggungan utang), dan juga dalam undang-undang khusus seperti UU Jaminan Fidusia maupun UU Perbankan. Namun secara praktik, hak regres sering hanya menjadi "hiasan pasal" karena implementasinya tidak semudah teori.

Mengapa penjamin sering berada dalam posisi rentan? Pertama, mayoritas penjamin adalah pihak yang memiliki hubungan emosional dengan debitur---keluarga, teman dekat, atau rekan bisnis. Mereka menandatangani akad bukan karena kalkulasi ekonomi, melainkan rasa percaya atau bahkan tekanan sosial. Kedua, kreditur---terutama lembaga keuangan besar---lebih memilih "jalan pintas" dengan langsung menagih penjamin ketika debitur lalai. Akibatnya, penjamin menanggung beban utang tanpa pernah menikmati manfaatnya.

Di sinilah ironi hukum jaminan terjadi: penjamin yang seharusnya menjadi pelindung sistem kredit justru menjadi pelengkap penderitaan.

Penerapan hak regres idealnya mampu menjadi benteng terakhir bagi penjamin. Namun dalam praktiknya, penjamin harus mengajukan gugatan perdata terpisah untuk menuntut ganti rugi dari debitur yang ia bantu. Beban biaya, waktu, dan energi untuk proses litigasi ini membuat banyak penjamin memilih untuk pasrah. Di titik ini, hak regres belum berfungsi sebagai alat perlindungan, melainkan sekadar hak formalitas yang tidak efektif.

Karena itu, reformasi perlindungan hukum bagi penjamin harus dimulai dari dua arah: penguatan regulasi dan perubahan kultur kontraktual. Pertama, perlu adanya ketentuan wajib bahwa setiap perjanjian penjaminan harus memuat klausul hak regres yang bersifat otomatis (automatic recourse), sehingga begitu penjamin membayar, debitur langsung tercatat memiliki utang balik tanpa perlu gugatan baru. Kedua, kreditur tidak boleh serta-merta langsung menagih penjamin tanpa membuktikan bahwa upaya penagihan kepada debitur telah optimal. Konsep beneficium excussionis (hak menuntut agar kreditur lebih dahulu menyita harta debitur) harus ditegakkan.

Selain itu, penting pula menghadirkan edukasi hukum bagi masyarakat tentang risiko menjadi penjamin. Solidaritas sosial memang mulia, tetapi harus dibarengi dengan kesadaran hukum. Membantu bukan berarti menyerahkan nasib.

Pada akhirnya, hak regres tidak boleh hanya dipahami sebagai instrumen teknis. Ia adalah simbol keadilan dalam hubungan utang piutang. Ia mengingatkan bahwa dalam hukum, kebaikan tidak boleh dibalas dengan kesengsaraan. Penjamin yang berniat menolong tidak layak dijadikan tumbal kedua dalam sistem kredit.

Sudah saatnya hukum jaminan di Indonesia bergerak lebih progresif---dari sekadar melindungi kreditur, menjadi penyeimbang yang juga menjaga martabat penjamin. Solidaritas harus dihormati, bukan dieksploitasi. Dan hak regres harus ditegakkan bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam setiap praktik perjanjian jaminan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun