Kuartal II 2025, Maluku Utara jadi sorotan nasional. Pertumbuhan ekonominya 32,09 persen, tertinggi di Indonesia, bahkan sulit dicari tandingannya secara global. Pemerintah pusat menyebut ini sebagai bukti keberhasilan hilirisasi.
Kawasan industri nikel di Halmahera dijadikan etalase kebijakan. Dari bijih nikel yang ditambang, lahir feronikel, stainless steel, hingga bahan prekursor baterai kendaraan listrik. Semua dipuji sebagai simbol transformasi ekonomi Indonesia menuju era energi hijau.
Tapi pertumbuhan ini lebih menyerupai pesta angka. Statistik naik, tapi kualitas hidup rakyat tak ikut berubah.
Fakta Pertumbuhan yang Bertumpu pada Nikel
• BPS mencatat sektor listrik dan gas tumbuh 69,99 persen pada kuartal II 2025, sejalan dengan ekspansi smelter yang menyedot energi raksasa.
• Ekspor barang dan jasa naik 33,08 persen, terutama produk olahan nikel ke pasar global.
• Sektor industri pengolahan menyumbang porsi terbesar pada PDRB Maluku Utara, jauh melampaui kontribusi sektor tradisional seperti pertanian dan perikanan.
Artinya, motor pertumbuhan hanya satu: industri nikel.
Fenomena ini sesuai dengan teori mono-sector growth, di mana pertumbuhan sangat bergantung pada satu komoditas. Menurut Paul Collier (2007), ekonomi ekstraktif seperti ini rentan terhadap volatilitas harga global. Jika harga nikel turun, seluruh fondasi ekonomi daerah bisa goyah.
Indonesia pernah mengalaminya di era minyak 1980-an. Maluku Utara kini sedang mengulang sejarah: membangun ekonomi di atas satu tiang rapuh.
1. Ketimpangan yang Melebar
Data BPS menunjukkan, Gini Ratio Maluku Utara pada Maret 2024 berada di 0,316. Di perkotaan, bahkan mencapai 0,343.
Artinya, distribusi pendapatan semakin timpang. Pertumbuhan yang tinggi hanya memperkaya segelintir pihak:
• Korporasi tambang dan pemilik modal.
• Investor asing yang mengendalikan rantai produksi.
• Segelintir elite lokal yang menikmati rente dari konsesi.