Mohon tunggu...
anes_031
anes_031 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penjajahan Budaya oleh Upin & Ipin

20 September 2015   15:21 Diperbarui: 20 September 2015   15:26 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada tanggal 16 Agustus 2015 yang lalu saya berkesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anak usia TK sampai SD di lingkungan tempat saya tinggal dalam rangka lomba memperingati kemerdekaan Indonesia. Dalam interaksi tersebut saya sedikit tergelitik mendengar unkapan-ungkapan yang mereka katakan. Anak-anak tersebut mengucapkan kata-kata seperti tak patut, tak apa, sedap tak?, menang tak?, dan lain-lain. Saya berasumsi bahwa mereka sering menonton tayangan animasi asal negeri tetangga Malaysia Upin&Ipin. Kemudian saya bertanya pada beberapa orang dari mereka dan ternyata asumsi saya benar. Selain itu, saya juga mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu dari seri animasi tersebut. Kemudian beberapa hari yang lalu ketika saya menceritakan hal tersebut kepada beberapa teman saya, ternyata mereka juga menemui anak-anak yang berbicara dalam bahasa Malaysia.

Saya akan mencoba menganalisa fenomena tersebut dengan kaca mata teori kultivasi yang dikembangkan oleh Garbner. Teori kultivasi berpendapat bahwa media dapat menimbulkan efek yang bersifat kumulatif, dan media yang berperan cukup besar adalah televisi, karena televisi adalah sumber utama dari sosialisasi dan informasi (Junaedi, 2007:92). Bahkan Nielsen mencatat bahwa media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah televisi (95%) kemudian disusul oleh internet (33%). Aksesnya yang begitu mudah ditambah pengemasan acara tv yang begitu menarik mungkin menjadi alasan mengapa tv masih eksis ditengan perkembangan internet yang semakin pesat. Namun tanpa disadari ternyata televisi sedikit demi sedikit telah mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir mengenai dunia dimana kita tinggal. Penelitian yang dilakukan oleh Laynes menunjukkan bahwa kelompok yang selama seminggu menonton acara yang berisi kekerasan selama semingu itu pula kelompok tersebut cenderung melakukan adegan kekerasan tersebut (Junaedi, 2007:94). Bisa kita lihat bahwa televisi bisa mempengeruhi orang dewasa dengan mudah, bisa kita bayangkan betapa televisi akan sangat mudah mempengaruhi anak-anak.

Kita semua tahu bahwa anak-anak akan meniru apa yang ia lihat dilingkungan dimana ia tinggal (Pratisti, 2008:38). Contohnya ketika seorang anak tinggal dalam keluarga yang suka melakukan kekerasan, maka ia akan tumbuh menjadi seseorang yang kasar pula. Demikian juga ketika seorang anak terus menerus menonton tayangan animasi Upin&Ipin ia akan belajar meniru bahasa yang digunakan oleh Upin & Ipin. Terlebih seri animasi asal Malaysia tersebut ditayangkan setiap hari pada pukul 12.00 dan 16.30, bertepatan dengan jam istirahat anak melepas lelah seusai sekolah dan beraktifitas sehari. Jadi anak akan mengimitasi bahasa Malaysia yang selalu mereka dengar saat menonton animasi Upin&Ipin kemudian akan mulai menggunakan bahasa tersebut di kehidupan sehari-hari. Perlu kita ingat bahwa dahulu anak-anak belajar dari keluarga, lingkungan tempat ia tinggal dan lingkungan sekolah. Namun seiring perkembangan teknologi yang semakin pesat, kini anak-anak belajar melalui media.

Kemudian mari kita lihat dengan menggunakan asumsi teori kultivasi, sebagai berikut:

  1. Secara esensial dan fundamental televisi berbeda dengan media yang lain. Televisi bisa dibilang lebih unggul dibanding radio atau Koran. Karena radio hanya bisa didengar dan Koran hanya bisa dilihat atau dibaca, namun tv bisa didengar dan dilihat. Oleh karena itu televisi bisa dibilang lebih unggul. Selain itu, tv juga sangat menarik bagi anak-anak. Terlebih tayangan Upin&Ipin dikemas sedemikian rupa sehingga menarik perhatian anak-anak.
  2. Televisi membentuk cara kita berfikir dan berhubungan. Jadi televisi membuat kita meyakini bahwa apa yang ada di tv merupakan perwakilan dari lingkungan hidup kita. Demikian juga dengan anak-anak yang menonton animasi Upin&Ipin. Mereka yakin bahwa bahasa yang diucapkan dalan tayangan animasi tersebut adalah juga bahasa mereka.
  3. Televisi hanya memberi sedikit dampak. Asumsi ini menjelaskan bahwa pengaruh yang diberikan oleh tv memang sedikit, namun terus terakumulasi sehingga pengaruhnya menjadi besar. Kita mungkin tidak melihat anak-anak menggunakan bahasa Malaysia beberapa tahun lalu. Namun sekarang ada begitu banyak anak yang menggunakan bahasa Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut merupakan salah satu contoh bahwa pengaruh televisi memang sedikit, namun lama-lama menjadi bukit.

Seri animasi Upin&Ipin memang tayangan yang menarik, ceritanaya sederhana dan dipenuhi dengan nasehat yang mudah dimengerti namun tidak berkesan menggurui. Animasi ini bercerita mengenai kehidupan sehari-hari yang tidak dibuat-buat namun dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik. Namun tanpa disadari Upin&Ipin mempengaruhi budaya berbahasa anak Indonesia. Kini anak-anak mulai menggunakan bahasa Malaysia dalam kesehariannya. Mungkin kita berpikir ini adalah hal yang biasa. Toh bahasa Malaysia hampir mirip dengan bahasa kita. Namun perlu kita ingat bahwa bahasa merupakan identitas. Kita bisa tahu daerah asal seseorang dari logat dan kata-kata yang ia ucapkan. Apakah kita rela jika anak-anak Indonesia nantinya beridentitas Malaysia? Selain itu mungkin kita juga menganggap fenomena ini adalah sesuatu yang sepele. Toh anak-anak kita juga masih menggunakan bahasa Indonesia. Namun seperti yang sudah ditulis di atas, mungkin kita tidak menemui anak-anak yang menggunakan bahasa Malaysia beberapa tahun lalu pada awal Upin&Ipin ditayangkan di Indonesia, tapi saat ini kita bisa menemui banyak anak-anak yang menggunakan bahasa Malaysia. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun kedepan jika anak-anak Indonesia dibiarkan terus menggunakan bahasa Malaysia.

Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan siapapun. Kita tidak bisa melarang anak-anak untuk menonton animasi Upin&Ipin karena animasi tersebut penuh dengan nasehat yang baik. Ditambah dengan banyaknya acara tv di Indonesia yang menonjolkan sisi kekerasan, glamour, perebutan harta, percintaan anak muda yang monotone menjadikan Upin&Ipin tayangan yang tepat untuk anak-anak. Akan menjadi lebih baik jika kita menuntun adik-adik atau anak-anak kita ketika menonton animasi Upin&Ipin. Kita perlu menjelaskan kepada mereka untuk mengambil nasehat-nasehat yang diberikan melalui tayangan Upin&Ipin, namun kita juga perlu mengingatkan mereka bahwa budaya bahasa Upin&Ipin dan budaya kita berbeda. Sehingga anak-anak Indonesia tidak akan terpengaruh dan tetap mencintai bahasanya. Selain itu acara anak yang mendidik asal Indonesia juga perlu dibuat. Memang saat ini ada beberapa animasi Indonesia yang tayang di tv namun sepertinya masih kalah populer dari Upin&Ipin. Mengapa anak-anak lebih memilih Upin&Ipin daripada animasi Indonesia merupakan pekerjaan rumah bagi para pembuat animasi Indonesia. Padahal seperti yang kita tahu bahwa ada beberapa animator asal Indonesia yang ikut berkarya dalam pembuatan animasi film-film berkelas internasional seperti The Avanger dan Iron Man. Hal tersebut memang membanggakan, namun kita tentu akan lebih bangga lagi apabila para animator handal asal Indonesia membuat karya atas nama Indonesia dan melaluinya budaya Indonesia bisa dilestarikan.

 

 

Sumber :

Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa Pengantar Teoritis. Jakarta, Penerbit Santusta

Pratisti, Wiwien Dinar.2008.Psikologi Anak Usia Dini.Bogor, PT Macanan Jaya Cemerlang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun