"Terserapnya tenaga kerja di Indonesia ke sektor informal seperti pengemudi ojol dapat berakibat berkurangnya pendapatan pajak penghasilan."Â
Holan adalah seorang supir operasional di sebuah bank swasta, masa kerjanya mencapai sekitar tahun dan sebentar lagi akan dipaksa untuk berhenti dengan alasan klasik, yaitu efisiensi.Â
"Gila, masa iya, kerja 10 tahun gak dianggap sama sekali. Gara-gara manajemen gak becus urus bisnis, pegawai kelas rendah jadi korban."
Holan dan sesama rekan para supir lainnya memang merasa cemas terkait urusan  proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).Â
Berapa jumlah pesangon yang akan diterima serta yang jauh lebih penting apa yang akan dia lakukan pasca PHK, bukan perkara mudah pastinya menghadapi situasi semacam itu.
Beberapa orang sudah memiliki inisiatif untuk membuka usaha kecil-kecilan, ada juga yang berencana pulang kampung dan mengelola ladang seadanya.Â
Sebagian lagi menatap profesi yang saat ini banyak diminati dan juga paling mudah prosesnya yaitu berkaris sebagai pengemudi ojek online (ojol).
"Yah, paling nantinya narik online aja. Kerja boleh kena PHK tapi urusan hidup sama perut harus lanjut," seru Holan sambil menyeruput kopi susu.Â
Holan berencana uang pesangonnya akan ditabung untuk kebutuhan dana pendidikan anaknya, kemudian urusan nafkah keseharian dia berencana untuk mencari peruntungan dari ojol.
Mungkin banyak juga pihak yang menghadapi situasi serupa layaknya Holan, terancam tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi tidak memiliki keahlian khusus atau modal usaha yang mumpuni sehingga menjadi pengemudi ojol adalah pilihan paling masuk akal.