Ada anekdot mengatakan bahwa orang Indonesia tidak akan bisa menikmati makanan jika tidak ada gorengan.Â
Namun pada kenyataannya makan hasil dari proses penggorengan memang akan terasa lebih nikmat, lebih gurih jika dibandingkan makanan yang dikukus ataupun direbus. Sebagai contoh di setiap warung makan nyaris selalu tersedia gorengan.
Terlepas dari isu kesehatan, gorengan sudah menjadi menu favorit masyarakat, maka tak heran pula minyak goreng telah menjadi salah satu bahan pokok kebutuhan sehari-hari.Â
Produksi dan konsumsi minyak goreng di Indonesia memang cukup tinggi, pada tahun 2018 diperkirakan kapasitas produksi minyak goreng nasional mencapai 24 sampai 29 juta ton, suatu jumlah fantastis tentunya.Â
Sebagai negara penghasil minyak kelapa sawit, sangat wajar jika Indonesia sangat menggemari produk turunannya yaitu minyak goreng.
Minyak goreng yang beredar di pasaran Indonesia secara umum terdiri dari dua jenis, yaitu minyak goreng dalam kemasan, minyak goreng semacam ini lazim ditemui dengan kemasan lebih bagus dan mencantumkan merek, harganya lebih mahal. Sedangkan jenis lainnya adalah minyak goreng curah yang dijual lebih murah dengen kemasan plastik alakadarnya diikat menggunakan karet gelang.
Minyak goreng curah banyak digunakan oleh para pedagang kecil, seperti penjual gorengan atau warung makan sederhana, alasannya tentu saja harganya yang murah.Â
Namun mulai 1 Januari 2020 peredaran minyak goreng curah akan dilarang, Kementerian Perdagangan telah menyusun dan menerbitkan kebijakan ini sejak lama tepatnya dari tahun 2014, namun karena berbagai kendala baru tahun 2020 mulai diberlakukan.
Pelaksanaan ini tertunda karena para produsen lokal belum siap unit merealisasikan unit pengemasan yang menjadi kesepakatan antara Pemerintah dengan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), sehingga semua penjualan minyak goreng akan menggunakan kemasan sederhana, tidak lagi dalam bentuk kemasan selayaknya minyak goreng curah.
Latar Belakang Dihentikannya Peredaran Minyak Goreng Curah
Faktor utamanya adalah isu kesehatan, menurut  Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Enggartiasto Lukita, jaminan kebersihan dan tingkat kelayakan minyak goreng curah bagi kesehatan adalah hal yang sangat rawan.Â
Proses produksi dan pengemasannya memang tidak sebaik minyak goreng kemasan, belum lagi maraknya kasus minyak goreng curah hasil daur ulang yang berasal dari minyak bekas pakai.
Kerisauan pemerintah terhadap kesehatan warga negara sejatinya adalah bentuk kepedulian, terlebih lagi minyak goreng tergolong salah satu komoditas pangan utama, maka penggunaan minyak goreng yang higienis dan lebih sehat pun diupayakan agar dikonsumsi.
Hal ini menyebabkan kandungan lemak dan asam olet di minyak goreng kemasan lebih rendah jika dibandingkan minyak goreng curah. Dan jika diperhatikan minyak goreng kemasan warnanya cenderung lebih jernih. Dan dalam masalah distribusi tingkat sanitasi serta kebersihan minyak goreng kemasan lebih terjamin.
Tiga faktor utama di atas memang terkait dengan urusan kesehatan, namun masalahnya kualitas minyak goreng kemasan yang dikatakan lebih baik tentunya dalam hal harga lebih mahal jika dibandingkan minyak goreng curah.Â
Pada akhirnya menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat karena sangat terkait dengan faktor daya beli.
Pro dan Kontra di Kalangan Masyarakat
Jika memperhatikan gaya hidup di negara maju, masyarakat di negara-negara tersebut sangat peka dalam hal kebersihan dan kesehatan. Kepedulian masyarakat terhadap masalah ini juga berhubungan dengan peredaran bahan pangan yang sangat layak dikonsumsi dan menyehatkan.
Minyak goreng dengan kemasan curah tidak akan pernah ditemui di negara maju, karena bahan pangan seperti itu dianggap tidak layak konsumsi.Â
Kebersihan dan keamanan bahan pangan menjadi sangat diperhatikan. Membayar harga lebih mahal tidak menjadi masalah karena kesehatan lebih penting.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang sudah menyadari pentingnya arti kesehatan, penggunaan minyak goreng kemasan dengan harga sedikit lebih mahal sudah bukan masalah lagi, anggapan biaya berobat lebih mahal dari pada mencegah penyakit betul adanya.Â
Ini merupakan pandangan dari masyarakat yang mendukung dan pro terhadap kebijakan Pemerintah.
Sudah tentu para pedagang kecil sebagai pengguna minyak goreng curah akan merasa terbebani, karena biaya produksi mereka akan lebih mahal, sedangkan jika harga jual dinaikan para pelanggannya belum tentu mau membeli.
Upaya Mendorong Masyarakat Menggunakan Minyak Goreng Kemasan
Selain faktor kesehatan, Menteri Perdagangan bahwa minyak goreng kemasan akan lebih terjamin takarannya. Mungkin takaran minyak goreng curah bisa tidak sesuai dengan takaran semestinya, dalam satu kantong seharusnya berisi satu liter, bisa saja jumlahnya hanya 0,97 liter.Â
Dalam hal ini selain kualitas, kuantitas minyak goreng kemasan memang lebih terjamin karena proses pengemasannya akan lebih terjaga.
Pemerintah juga mendorong adanya investasi pengadaan mesin kemasan minyak goreng agar dapat dijangkau oleh para penjual.Â
Di samping itu pemerintah mengupayakan penjualan minyak goreng kemasan ini juga menggunakan wadah atau tempat minyak dari setiap pembelinya. Jadi para pembeli datang ke penjual minyak beserta tempatnya masing-masing.
Faktor distribusi juga perlu diperhatikan agar peredaran minyak goreng kemasan merata dan senantiasa tersedia di seluruh daerah, karena jika pasokan tersendat dan barang menjadi langka otomatis harga minyak goreng akan naik, sudah tentu menjadi permasalahan lagi bagi masyarakat.
Hambatan Implementasi Kebijakan
Niat dari kebijakan ini sebetulnya dapat menjadi hal bijaksana dan bermanfaat asalkan tidak ada kolusi antara oknum pemangku kewenangan dan para pengusaha minyak goreng untuk menguasai pasar minyak goreng.Â
Ini dikhawatirkan pemasok minyak goreng kemasan dikuasai oleh golongan tertentu sehingga timbul praktek monopoli dan mematikan pengusaha kecil.
Terkait masalah tersebut perlu adanya pengawasan ketat dan sanksi tegas untuk menindak para pelakunya, agar masyarakat tidak menjadi korban.
Ancaman lainnya adalah kecurangan para pengecer yang menjual minyak tersebut dengan model penjualan minyak curah. Minyak goreng kemasan dijual kembali dalam takaran lebih kecil dengan kemasan seadanya. Jika hal ini sampai terjadi, akhirnya sama saja dengan kondisi saat ini.
Guna mengantisipasi hal tersebut perlu dipertimbangkan adanya insentif bagi para produsen dan penjual seperti pengurangan pajak maupun kemudahan mendapatkan modal usaha.
Sudah pasti kebijakan penghentian peredaran minyak goreng curah sangat berkaitan dengan isu kemasyarakatan, maka proses pelaksanaan kebijakan ini perlu diperhatikan dan diawasi secara seksama. Jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran, pihak yang dirugikan nyatanya adalah masyarakat.
***
Johanna Theodora "Wieteke" van Dort atau Tante Lien seorang warga negara Belanda kelahiran Surabaya sangat mencintai makanan Indonesia, bahkan ketika beliau kembali ke negara leluhurnya yakni negeri Belanda, kerinduannya terhadap makanan Indonesia dicurahkan dalam lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng.
Tante Lien selayaknya masyarakat Indonesia menyukai nasi goreng, sambal, kerupuk dan telur dadar. Untuk mengolah makanan lezat tersebut, ya dibutuhkan minyak goreng. Namun akan lebih nikmat dan menyehatkan jika menggunakan minyak goreng berkualitas baik.