Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Karena Kita Semua Doyan Kerupuk

16 Maret 2019   15:09 Diperbarui: 17 Maret 2019   04:34 1355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerupuk (SHUTTERSTOCK) | Kompas.com

Semua orang pasti menyukai jika sudah menyangkut urusan murah meriah tetapi renyah. Suatu siang di sebuah warung yang menjual aneka makanan dari mie, nampak seorang salesman kerupuk hendak mengisi ulang kerupuk. Setelah sisa kerupuk dikeluarkan dari kaleng, sang salesman dengan sigap memasukan kerupuk baru ke dalam kaleng.

Kemudian, kaleng tersebut digantung kembali, dijajakan untuk memikat selera para pengunjung warung. "Sisanya ada 8 bos." Seru sang salesman, lantas pemilik warung mie menghitung uang dan membayar kerupuk. Pemilik warung menyahut, "Kerupuk perlu ada supaya bikin pelanggan semakin berminat makan, harganya juga murah."

Itulah aktivitas transaksi yang terjadi, jual-beli kerupuk, makanan pelengkap yang disukai semua orang. Bagi masyarakat Indonesia kerupuk seperti sudah menjadi syarat tambahan wajib dalam urusan kuliner, maka tak mengherankan di semua restoran atau warung makan, kerupuk dengan mudah dijumpai.

Ilustrasi: travelingyuk.com
Ilustrasi: travelingyuk.com
Di Indonesia, kerupuk memang sudah melebur dengan gaya kuliner setiap daerah, sehingga jenis kerupuk di Indonesia menjadi bervariasi, walaupun proses pembuatannya mungkin sama. Di Cirebon dikenal ada kerupuk melarat, kemudian ada kerupuk ikan dari Pulau Bangka, kerupuk rambak dari Boyolali, masih banyak lagi jenisnya.

Tekstur kerupuk renyah dan rasanya gurih, karena hal ini pula kerupuk menjadi makanan favorit semua orang. Masalah harga, tidak menguras isi kantong. Dengan demikian, kerupuk menjadi makanan yang dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat.

(KOMPAS.com/ANDI MUTTYA KETENG)
(KOMPAS.com/ANDI MUTTYA KETENG)
Kerupuk Dalam Perkembangan Budaya
Menurut pakar kuliner Fadly Rahman, dokumentasi mengenai kerupuk telah ada sejak abad 9 atau 10, tercantum di suatu prasasti. Pada catatan tersebut disebutkan mengenai kerupuk rambak atau kerupuk dari kulit sapi.

Sangat memungkinkan kerupuk sudah lebih lama dinikmati oleh masyarakat pada masa lampau, tetapi yang jelas dari tinjauan tersebut dapat disimpulkan bahwa kerupuk adalah makanan yang tetap digemari dari masa ke masa.

Kemudian kerupuk menyebar ke daerah Kalimantan, Sumatra bahkan sampai ke Semenanjung Melayu. Hal ini ditemukan dalam dokumen Melayu dari abad 19 yang ditulis oleh Abdul Kadir Munsyi.

Ilustrasi: wikipedia
Ilustrasi: wikipedia
Faktor yang menyebabkan kerupuk senantiasa diterima oleh masyarakat berbagai daerah adalah karena rasanya yang enak, kemudian proses pembuatannya tergolong sederhana, karena bahan baku untuk membuat kerupuk dapat dengan mudah ditemui, yaitu dari tepung tapioka sebagai bahan utamanya, ditambah sejumlah bahan untuk rasa, mulai dari bawang putih, kedelai, cabai, MSG, rempah-rempah, serta yang paling sering udang dan ikan. Kerupuk juga merupakan makanan yang dapat bertahan cukup lama.

Konsep Bisnis Kerupuk 
Lantas bagaimana bisnis kerupuk di kalangan masyarakat pada umumnya? Jika berbicara bisnis makanan ringan seperti kerupuk, maka bisnis ini tergolong sebagai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Dapat dimulai dengan modal yang tergolong kecil dengan kapasitas produksi dan jangkauan distribusi yang terbatas.

Kerupuk dapat diproduksi dalam ruang lingkup industri rumah tangga. Ini dilakukan jika usaha baru dirintis, dengan tenaga kerja dan pemasaran yang dirangkap. Jika kapasitas usaha mulai berkembang, maka tenaga kerja untuk produksi juga ditambah dan terpisah untuk tenaga pemasaran.

Tak jarang usaha kerupuk dimulai dari usaha rumahan, kemudian berkembang menjadi pabrik sederhana.

Kerupuk dalam skala produksi menengah dapat diproduksi langsung di suatu pabrik sederhana, atau menggunakan sistem kerja sama, dimana pembuatan kerupuk melibatkan beberapa pengrajin lain yang skalanya lebih kecil. Kemudian para pengrajin tersebut menjual kerupuk mentah yang telah dibuat kepada pengrajin yang skalanya lebih besar. Hubungan kerja dan produksi seperti ini telah berlangsung di beberapa sentra penghasil kerupuk di Indonesia.

Ilustrasi: old.solopos.com
Ilustrasi: old.solopos.com
Biasanya kerupuk sangat kental dengan ikatan kedaerahan, sehingga produk kerupuk menjadi ikon atau makanan khas. Seperti kerupuk ikan atau kemplang dari pulau Bangka.

Jika berkunjung dari pulau Bangka, salah satu oleh-oleh yang perlu dibawa adalah kerupuk. Produk kerupuk semacam ini memiliki nilai tambah yang sulit ditiru oleh produsen kerupuk pabrikan besar, karena mengandung unsur nilai lokal. Persepsi konsumen sudah menganggap bahwa kerupuk dari suatu daerah memiliki keunggulan rasa dan bersifat unik jika dibandingkan dengan kerupuk pabrikan besar.

Produk yang sudah diproduksi dalam kapasitas besar dan tersebar luas memang kerap dianggap biasa dan tidak ada unsur unik yang dirasakan, hal ini juga berlaku dalam produk kerupuk. Konsumen beranggapan biasa saja, karena kerupuknya dapat dengan mudah ditemui, lain halnya jika kerupuk yang dibeli dari suatu daerah.

Ilustrasi: visitbangkabelitung.com
Ilustrasi: visitbangkabelitung.com
Sedangkan terkait masalah pemasaran, untuk kerupuk lokal memiliki persamaan pola di setiap daerah, dapat dibagi menjadi 3 pola yaitu:
  1. Kerupuk dijual langsung ke konsumen akhirnya. Segmen konsumennya adalah rumah tangga dan daerah sekitar tempat produksi kerupuk. Ini dapat ditemui untuk produk kerupuk lokal.
  2. Dipasarkan melalui tempat pusat penjualan oleh-oleh. Kerupuk tersebut dibeli oleh toko oleh-oleh atau memang dititipkan produsen untuk dijual. Hal seperti ini juga sangat umum ditemui.
  3. Penjualan dilakukan berdasarkan kerja sama atau pesanan dari perusahaan atau pabrik yang lebih besar.
  4. Kerupuk dijual secara on line. Menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Jika memiliki kesempatan berkunjung ke suatu daerah, menarik untuk disimak, kerupuk apa yang digemari masyarakat sekitar. Pasti akan ditemukan kerupuk dengan berbagai jenis, rasa dan merek. Dan tak jarang pula pada akhirnya pengunjung tertarik untuk membeli.

Mungkin rasanya tidak berbeda jauh dari kerupuk di tempat asal pengunjung, namun faktor nilai lokal mendorong dan memberikan daya tarik bagi kerupuk di daerah tersebut. Ekonomi dan budaya memang melengkapi satu sama lain.

Dalam skala usaha yang besar, misalnya tingkat nasional, banyak pula produsen kerupuk. Misalnya kerupuk Finna yang sudah lama menjadi produk kerupuk dengan segmen masyarakat menengah ke atas. Produk dijual dengan harga lebih mahal, kualitas yang diklaim lebih bagus, kemasan lebih elegan, dan tentunya kapasitas produksi jauh lebih besar dari produk daerah.

Peluang dan Tantangan Kerupuk di Pasar Mancanegara
Jika kerupuk sejak abad lampau telah dinikmati dan digemari oleh bangsa Belanda, maka pada era modern sebetulnya kerupuk menjadi produk potensial untuk diekspor. Finna adalah salah satu produk yang sudah menembus pasar mancanegara. Tetapi bagi produsen kerupuk lainnya, peluang ekspor juga tetap menarik.

Pada tahun 2018 lalu ketika perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok mulai memanas, ternyata Tiongkok melirik Indonesia untuk dijadikan sebagai mitra dagang alternatif. Dan menariknya adalah salah satu komoditas yang digemari warga Tiongkok adalah kerupuk.

Bukti lain kerupuk Indonesia merupakan produk potensial adalah ketika Asia THAIFEX pameran makanan dan minuman diselenggarakan di Bangkok, Thailand pada tahun 2016, kerupuk Indonesia diminati oleh Korea Selatan dan Tiongkok, tak tanggung-tanggung nilai transaksinya mencapai US$ 950 ribu.

Ilustrasi: rumahmesin.com
Ilustrasi: rumahmesin.com
Menjadikan kerupuk sebagai komoditas ekspor sebetulnya hal yang menjanjikan, karena tanggapan masyarakat global terhadap kerupuk Indonesia cukup positif. Lantas pasokan bahan baku seperti ikan, udang dan rempah-rempah dapat dipenuhi dari daerah-daerah di Indonesia.

Tetapi ada juga tantangan untuk mengembangkan ekspor kerupuk yaitu terkait bahan baku tepung tapioka yang masih harus diimpor. Gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi persoalan tersendiri dalam pengadaan bahan baku.

Persoalan lainnya adalah mengenai aspek pemasaran seperti kemasan dan kreasi variasi produk. Untuk hal ini dapat diakali dengan menjaga kualitas produk dan penggunaan bahan baku yang bagus, serta mengembangkan konsep komunikasi pemasaran yang lebih modern agar dapat bersaing.

Kerupuk dapat dikemas dengan kemasan yang modern atau eye catching, memang ini akan membuat biaya produksi akan jadi lebih tinggi namun dari aspek pemasaran, kemasan yang unik dan kekinian ternyata dapat lebih menjual. Masalah gap biaya ini dapat diantisipasi dengan upaya penjualan produk dengan kemasan umum dalam skala lebih besar dari satu produsen.

Hal lain yang tak kalah penting adalah soal varian rasa. Konsumen dalam dan luar negeri memiliki persamaan dalam hal selera makanan ringan, yaitu perlunya pilihan rasa yang beragam agar tidak bosan dan beralih ke produk lain. Dengan memainkan aspek rasa, produk kerupuk dengan bahan baku sederhana pun dapat dijual dengan lebih elegan.

Ilustrasi: kompas.com
Ilustrasi: kompas.com
Sebagai produk yang memiliki keterkaitan dengan faktor geografis, kerupuk dapat membawa Indonesia untuk lebih dikenal di pasar makanan ringan tingkat global.

Apalagi kerupuk banyak dihasilkan dari produsen UMKM, dengan meningkatnya penjualan di dalam negeri serta terbukanya peluang ekspor, maka perputaran ekonomi pun terjadi. Transaksi dari mancanegara menghasilkan devisa bagi negara, sementara nilai jual produk UMKM ikut terdongkrak naik. Penjualan naik, penghasilan bertambah dan kesejahteraan meningkat.

***
Desa Gedong di pulau Bangka adalah salah satu contoh nyata di mana masyarakat sekitar menggantungkan penghasilannya dari membuat dan menjual kerupuk kemplang. Proses ini sudah berlangsung secara turun temurun dan dari generasi ke generasi. Dan saat ini semua aspek produksi dan pemasarannya masih berjalan secara tradisional.

Produk dari desa ini memang dengan mudah ditemui melalui sistem on line tetapi jika memiliki kesempatan untuk berkunjung dan menyaksikan secara langsung bagaimana produk kerupuk kemplang dihasilkan dengan metode tradisional menjadi suatu pengalaman yang tak terlupakan.

Kerupuk, sebuah makanan ringan yang sulit ditolak untuk dinikmati. Terkesan sederhana dan murah tetapi ternyata kerupuk telah menghidupi banyak pihak oleh karena kita semua doyan kerupuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun