Mohon tunggu...
Fadil Al Kafi
Fadil Al Kafi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Religion, Liberte, Egalite

Pelajar abadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

DOA, IKHTIAR, DAN TAKDIR

18 Januari 2021   00:19 Diperbarui: 18 Januari 2021   00:27 2025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, meskipun kata ikhtiar, doa, dan takdir, merupakan istilah yang sering didengar oleh telinga kita, namun kenyataannya masih banyak dari umat Muslim yang kesulitan dalam menyelaraskan hubungan antara ketiganya. Akibatnya, banyak dari kita yang terjebak dalam paham sesat yang mengakibatkan kemalasan untuk berdoa karena hanya mementingkan aspek ikhtiar, atau malas untuk berikhtiar karena salah dalam memahami takdir Allah Swt. Ditambah, sering kali penjelasan yang diberikan dalam ceramah-ceramah hanyalah mentok sampai kalimat, “Ikhtiar harus tetap dilakukan karena meskipun segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah Swt namun kita harus tetap berusaha meraih keinginan kita.”

Namun sejatinya, jika kita telaah dengan akal sehat maka kita dapat menjelaskan secara rasional hubungan antara ketiga hal tersebut. pertama-tama marilah kita melihat contoh kasus berikut:

Ahmad ingin berangkat ke kantornya menggunakan sepeda motor. untuk memastikan keselamatannya, Ahmad  senantiasa merawat sepeda motornya, memakai perlengkapan keselamatan, serta berkendara dengan tertib selama di perjalanan. Namun meskipun begitu, Ahmad tidak bisa menjamin bahwa seluruh pengendara tertib berlalu lintas dan tidak ada yang ugal-ugalan. Oleh karena itu, untuk menenangkan hatinya Ahmad selalu berdoa kepada Allah Swt agar diberi keselamatan selama berkendara. Karena sudah berikhtiar dan berdoa dengan baik dan benar maka hati Ahmad menjadi tenang dan siap dalam menghadapi takdir yang Allah berikan kepadanya meskipun risiko kecelakaan saat berkendara selalu mengintainya.

Berdasarkan contoh kasus di atas, kita dapat mengetahui bahwa kenyataannya di dunia ini ada hal yang dapat kita kontrol dan ada hal yang tidak dapat kita kontrol sama sekali. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi jalan hidup kita, dan fatalnya terkadang manusia justru terlalu fokus terhadap hal yang tidak bisa kita kontrol. Salah fokus tersebut hanyalah menyebabkan kita ditimpa stres dan kecemasan berlebih. Maka di situ peran doa dibutuhkan karena selain sebagai wujud ketakwaan kita terhadap Allah Swt, doa juga memiliki peranan besar dalam menenangkan hati kita menghadapi hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Sederhananya, setelah kita berikhtiar dengan sungguh-sungguh maka kita wajib berdoa mengharapkan takdir yang terbaik serta menanamkan kesadaran dalam hati bahwa kita telah berusaha sesuai dengan kapasitas kita sebagai makhluk Allah Swt yang penuh dengan keterbatasan.

Di sisi lain, doa menjadi tidak berarti jika tidak diiringi dengan ikhtiar atau usaha. Karena ketetapan Allah sendiri berdasarkan pada sunatullah/hukum alam. Contohnya, jika siswa rajin belajar sebelum ujian maka biasanya dia akan mudah dalam mengerjakan ujian tersebut seorang diri, namun hal kebalikannya akan berlaku untuk orang yang malas belajar. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip keadilan menurut Islam yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan hak dan kewajibannya. Dan mustahil bagi Allah Swt, Sang Maha Adil untuk menetapkan takdir yang bertentangan dengan prinsip itu. Jika muncul pernyataan, “banyak siswa yang menyontek mendapatkan nilai bagus dan itu merupakan bentuk ketidakadilan Allah,” Secara sekilas takdir itu memang menguntungkan siswa tersebut, namun jika kita analisa lebih dalam justru pada hakikatnya takdir itu sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam karena siswa tersebut akan semakin terjerumus dalam kemalasannya yang pasti suatu saat (jika dia tidak segera memperbaiki diri) akan berdampak destruktif bagi dirinya. Pegang kalimat ini, “Cara yang salah/merusak akan menghasilkan hasil yang salah/merusak pula.”

Kemudian mengenai takdir, jika hal tersebut sesuai dengan sunatullah maka mengapa ada orang yang berusaha dan berdoa sekuat tenaga namun memperoleh hasil yang tidak dia harapkan. Maka bukan berarti takdir memang tidak berbanding lurus dengan ikhtiar atau bertentangan dengan sunatullah bisa jadi orang beranggapan demikian hanya kurang mampu dalam mengambil hikmah dibalik takdirnya. Contoh kasusnya:

Malam sebelum UAS Fisika, Zidan mempelajari Mata pelajaran (Mapel) tersebut hanya dalam durasi waktu 2 jam, sedangkan Fadil mempelajari Mapel itu selama 4 jam. Namun ternyata, Zidan mendapatkan nilai memuaskan, sedangkan Fadil harus remedial dalam ujiannya. Fadil merasa bahwa takdir tersebut sangat mengecewakan karena tidak sebanding dengan usaha yang dia lakukan. Sebenarnya, dalam hal ini Fadil sudah terperangkap dalam sesat pikir jenis over generalisasi karena dia tidak menyadari bahwa meskipun kuantitas durasi belajarnya lebih lama dibandingkan dengan Zidan, namun metode belajar yang dipakai oleh Zidan berbeda dan sangat efektif meskipun hanya membutuhkan durasi belajar yang sebentar.

Namun bisa juga takdir kita menjadi buruk karena sebab-sebab yang tidak bisa dikendalikan sama sekali. Misalnya, terjebak macet dalam perjalanan menuju sekolah karena adanya kecelakaan lalu lintas. Yang demikian itu sejatinya, juga berjalan sesuai dengan  sunatullah karena takdir seseorang saling berkaitan satu sama lainnya (di sinilah letak pentingnya kita untuk berhati-hati dalam bertindak).

Selain itu, karena keterbatasan kemampuan manusia, jika telah berikhtiar dan berdoa sekuat tenaga maka kita harus menanamkan kesadaran bahwa kita telah melakukan yang terbaik. Terbaik sendiri dalam artian sesuai dengan kemampuan kita saat ini dan bukan berarti kita telah sempurna dalam berusaha karena akan selalu ada peluang untuk dilakukannya improvisasi. Perlu ditekankan juga bahwa meskipun kesempurnaan sejati hanyalah milik Allah Swt, akan tetapi bukan berarti kita berhenti untuk mengejarnya. Menjadi asal dalam ikhtiar dengan alasan takdir atau menjadi malas dalam berdoa karena alasan ikhtiar bukanlah merupakan spirit Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Umat Islam pada era kejayaannya dikenal sebagai umat yang bisa menyeimbangkan antara aspek material (diwujudkan dengan usaha mencari kesuksesan dunia) dan spiritual (diwujudkan dengan usaha mengejar kesuksesan di akhirat). Selama umat Muslim belum bisa menyeimbangkan kedua aspek tersebut, akan sangat sulit bagi kita untuk mewujudkan kembali Era Kejayaan Islam yang selama ini dicita-citakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun