Mohon tunggu...
Andri Subiantoro
Andri Subiantoro Mohon Tunggu... -

,..saya seorang dokter,...yang menyukai kegiatan alam bebas,...sangat menyukai gunung dan pantai2,...mencintai budaya-budaya negeri ini,...suka membaca buku2 memoar, biografi orang2 inspiratif,....dan berusaha untuk menulis,...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Parodi Kejujuran,....

11 Juni 2011   16:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

,.....sekarang aku tahu jika kejujuran sebaiknya dijadikan sebuah tema parodi kehidupan, karena sepertinya para manusia ini lebih menghargai kehidupan semu yang benar-benar biru. Rasanya kelam jika memandang debu tersebut di balik rasa malu. Aku menyebutnya sebagai "Parodi Kejujuran". Sebuah tema lucu yang membingungkan. Dan para pemeran pun tidak perlu memainkan skenario dengan lucu. Cukup dengan menjadi diri sendiri. Para pemain drama adalah orang di balik jiwa-jiwa seni. Seni apapun sejatinya harus memuat pesan yang sarat makna. Dan makna hidup yang seperti apa yang akan tersirat dari tema-tema "kemunduran hati" di sana-sini.

Mengutip apa yang terjadi akhir-akhir ini di sebuah daerah di Surabaya. Sebut saja Tandes, bukan nama sebenarnya. Seorang Murid SD kelas 6 telah menjadi korban "konspirasi" kejahatan intelektual yang menyedihkan. Si "Al" nama murid tersebut telah diajarkan sebuah skenario drama percontekan luar biasa yang penuh dengan intrik. Intrik yang kejam. Kejam bagai pedang yang menghapus nilai-nilai keluhuran guru sebagai pendidik yang bersahaja. Bagaimana mungkin seorang guru mengajarkan tema-tema "ketidakjujuran" yang biasanya hanya dikuasai oleh para koruptor.

,...............
Sebelumnya, Siami mengatakan, dirinya baru mengetahui kasus itu pada 16 Mei lalu atau empat hari setelah Unas selesai. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al, anaknya, diplot memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan ‘taktik kotor’ itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al, mengaku. Ia bercerita sejak tiga bulan sebelum Unas sudah dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Setelah Al akhirnya mau, oknum guru itu diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan. (Kompas, 10 Juni 2011)
..............

Baik, aku mencoba untuk tidak emosional. Tapi sepertinya huruf-huruf yang tertulis semakin tidak bersahabat. Susunannya abstrak dan tak berbatas.  Maaf, mari kita kembali membahas "Parodi Kejujuran". Sekarang aku bertanya," Apakah kau masih selembut dahulu?" kata Gie dalam puisinya. Ingin sekali aku bertanya pada diri sendiri tentang rasa malu. Aku juga bukan manusia yang terlalu taat pada norma. Aku juga melewati masa-masa di mana kelas begitu berisik. Terkadang aku juga menyontek. Bolehkah aku menyebutnya sebagai budaya. Pengertian budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sekarang, bolehkah kita menertawakan diri kita sendiri?. Bolehkah kita mengajarkan anak-anak kita tentang "budaya-budaya" negeri ini?. Silahkan di jawab dengan hati.

Ada yang lebih mengharukan dari sekedar membaca berita-berita. Terlebih lagi jika kita mendengar kabar ketidaknyamanan. Bertambah kacau jika kita mendapatinya bersambung hingga esok hari. Terkadang kritik sangat menusuk dalam hati. Bahkan terkadang kritik muncul dari orang-orang awam yang tidak paham tentang solusi. Seperti kejujuran. Terkadang mengatakan "jujur" itu sakit, dan melaksanakan kejujuran itu dapat seperti bunuh diri. Terkadang situasi juga sulit dimengerti.

Si Al telah di "eksploitasi" ketidakpahaman-nya. Oleh guru tercinta dia dihimbau untuk "membantu" teman-temannya, dan tentu saja si "teman" tersebut bersedia. Secara "Blak-blakan" aku berani mengatakan bahwa situasi ini telah terjadi di mana-mana. Apapun alasannya ini merupakan bentuk kecil tindakan korupsi. Korupsi termasuk dalam sub bab pembahasan bab "budaya" di negeri ini. Dan secara tidak sadar kita telah terlibat dalam konspirasi "budaya" yang mengerikan. Demi prestasi kita telah berdiskusi dengan calo-calo "Parodi". Demi kebanggaan"semu" nilai UNAS, kita telah menjual harkat martabat kepada sistem. Dalam hal ini sistem telah terbentuk sebagaimana orang-orang tua mengajarkan "musyawarah" untuk mufakat. Mufakat dalam hal ini tentu saja adalah jawaban si Al, sebagai pemeran utama drama kali ini. Apakah anda merasakan kesedihan sejauh ini?. Atau hanya perasaan biasa, mengingat masa-masa lampau kita, kita juga "nyontek!".

……Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami pada Kamis kemarin. (Kompas, 10 Juni 2011)

Yang aku sayangkan adalah ketika seorang ibu datang memperjuangkan kejujuran, justru respons negatif yang didapatkan. Mentalitas warga kita yang terpuruk karena pragmatisasi keadaan, lalu dengan semangat juang yang tinggi justru mengusir kebenaran. Masyarakat telah membunuh nuraninya atas nama ketidakjujuran. Mereka terlalu takut anak-anak mereka tidak lulus dan membiarkannya terjebak dalam kubangan kotor yang kita sebut sebagai “parodi ketidakjujuran”. Rasa malu telah berbalik arah, bahkan terjerumus ke dalam jurang awam yang gelap. Mereka telah menguburnya dalam-dalam di dalam hati. Tidak lagi peduli, tidak pula bersedih. Situasi menjadi sangat perih. Maka inilah yang kita sepakati sebagai bunuh diri. Kita jujur dan mati.

…..Warga juga menyatakan bahwa menyontek sudah terjadi di mana-mana dan wajar dilakukan siswa agar bisa lulus. (Kompas, 10 Juni 2011)

Mewajarkan sesuatu yang paradoks sudah sesuatu yang sering dilakukan oleh masyarakat kita. Menghalalkan segala cara demi suatu tujuan bukan merupakan tema yang baru di kalangan masyarakat. Memaklumkan orang untuk berdusta juga sudah sering. Asal kepentingan diri terpenuhi, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak. Jangankan kepentingan diri, terkadang kepentingan publik pun dipenuhi dengan cara-cara “cepat”.

Yang aku sampaikan saat ini adalah fakta yang terjadi di kehidupan kita. Dan mungkin terjadi pada anak-anak kita. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat menanggapinya. Apakah kita tetap bersikap lembut pada "ketidakjujuran" atau membiarkannya mengakar sebagai budaya yang perlu dilestarikan. Sebuah pilihan yang sulit di atas panggung "Parodi Kejujuran". Jika hal yang paling dasar dalam bermasyarakat saja sudah dilanggar di masa-masa kecil, lalu bagaimana mentalitas anak-anak bangsa ini kelak saat dewasa. Azas kejujuran semestinya diukir di sebuah prasasti yang kokoh karena akan menjadi langka di masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun