Aku bukan lagi seorang dosen. Bertahun-tahun lalu, aku memilih berhenti dari dunia akademik dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Aku ingin anakku, Faiz, tumbuh dengan sentuhan seorang ibu. Meski kakiku tak sempurna, aku ingin ia merasakan hadirnya sosok dan kasih sayang Bunda dalam setiap langkahnya.
Keinginanku untuk selalu sempurna sering membuatku letih. Apalagi ketika suasana hati sedang tidak baik-baik saja. Suamiku baik, penuh tanggung jawab, tapi berangkat pagi pulang malam. Kadang aku merasa kesepian.
Kakiku kadang sakit bila terlalu lama berdiri. Tapi aku bertahan, demi Faiz dan suamiku. Aku menumpahkan resah dalam doa: tentang rasa sepi, kakiku yang sakit, sulitnya mengatur keuangan, dan keinginan hidup seperti orang lain.
"Ndaaa! Sarapannya jangan telat, nanti aku kurus kayak tiang listrik!" teriak Faiz dari kamar.
"Kurus? Bukannya kamu tambah gendut gara-gara biskuit?" tanyaku.
"Itu bukan gendut, Nda... itu isi daya cadangan!" katanya sambil muncul dengan rambut awut.
Aku hanya bisa menggeleng. Usilnya memang tak ada habisnya.
Sore itu, aku duduk di pinggir lapangan menonton Faiz berlari mengejar shuttlecock. Kakiku terasa sakit, tapi aku tersenyum.
"Nda, kalau aku jadi atlet, Nda mau duduk di tribun sambil bawa spanduk, nggak?" tanyanya.