Pendahuluan: Jejak Perlawanan yang Terlupakan
Dalam catatan panjang kolonialisme di Afrika Barat, terdapat banyak kisah keberanian yang jarang disorot oleh sejarah arus utama. Salah satunya adalah Insiden Yumbuya, peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1887 di wilayah pedalaman Sierra Leone.
Di balik konflik bersenjata ini, tersimpan kisah luar biasa tentang keberanian, strategi, dan kecerdikan lokal yang ditunjukkan oleh suku Yoni, bagian dari etnis Temne, dalam menghadapi pasukan kolonial Inggris yang jauh lebih kuat.
Peristiwa ini terjadi ketika pasukan Inggris, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Francis de Winton, berusaha menaklukkan daerah Yoni dengan dalih menjaga keamanan jalur perdagangan.
Namun, yang mereka temui di lapangan bukanlah rakyat yang tunduk, melainkan komunitas tangguh yang memahami medan dan berani mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan kedaulatan mereka.
Meskipun secara militer Inggris akhirnya memenangkan ekspedisi tersebut, Insiden Yumbuya menjadi simbol perlawanan dan harga diri suku lokal terhadap penindasan kolonial. Kisah ini bukan hanya tentang perang, tetapi juga tentang semangat manusia untuk melawan ketidakadilan dengan cara-cara yang cerdas dan bermartabat.
Latar Belakang Ekspedisi Yoni
Menjelang akhir abad ke-19, Inggris mulai memperluas pengaruh kolonialnya dari kawasan pesisir ke wilayah pedalaman Afrika Barat. Sierra Leone, yang saat itu menjadi koloni penting, menjadi pusat aktivitas ekonomi dan politik Inggris di kawasan tersebut.
Pemerintah kolonial menuduh suku Yoni melakukan serangan terhadap komunitas yang bersahabat dengan Inggris serta mengganggu jalur perdagangan utama di pedalaman.
Sebagai tanggapan, Inggris meluncurkan Ekspedisi Yoni pada tahun 1887, sebuah operasi militer besar-besaran yang juga dikenal di kalangan lokal sebagai “Perang Orang Putih”.
Pasukan yang terlibat dalam ekspedisi ini sangat beragam. Mereka terdiri dari tentara Resimen India Barat ke-1, polisi lokal Sierra Leone, pelaut dari kapal perang HMS Acorn, HMS Icarus, dan HMS Rifleman, serta prajurit dari suku-suku sekutu yang beraliansi dengan Inggris.
Selain itu, ada pula porter dan pemotong semak yang bertugas mengangkut logistik dan membuka jalur di hutan-hutan lebat Afrika Barat. Dengan dukungan senjata berat seperti meriam lapangan dan senapan mesin Maxim, Inggris percaya bahwa kemenangan hanya tinggal menunggu waktu.