Pendahuluan: Ketika Sejarah Menjadi Legenda
Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, ada momen-momen tertentu yang melampaui sekadar catatan peristiwa militer. Pertempuran Thermopylae pada tahun 480 SM adalah salah satunya.
Pertempuran ini bukan hanya soal strategi perang atau kemenangan di medan tempur, tetapi juga kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan keteguhan hati menghadapi musuh yang jauh lebih besar.
Di celah Thermopylae, pasukan kecil Yunani berdiri menghadang invasi besar-besaran Kekaisaran Persia di bawah pimpinan Raja Xerxes I. Walaupun mereka tahu hampir mustahil untuk menang, keputusan untuk bertahan menjadikan pertempuran ini sebagai legenda.
Hingga kini, kisah tersebut masih menggema dalam seni, sastra, hingga film populer seperti 300. Thermopylae bukan hanya catatan sejarah, melainkan simbol abadi tentang perjuangan mempertahankan kebebasan dan identitas sebuah bangsa.
Latar Belakang: Perselisihan Yunani dan Persia Sebelum Thermopylae
Hubungan Yunani dan Persia sebelumnya memang sudah lama dipenuhi konflik. Bermula dari Pemberontakan Ionia (499–493 SM), ketika kota-kota Yunani di Asia Kecil yang dikuasai Persia memberontak. Athena dan Eretria memberikan dukungan, membuat Raja Darius I dari Persia murka.
Sebagai balasan, Darius mengirim ekspedisi militer pertama ke Yunani. Namun, pasukannya berhasil dipukul mundur oleh prajurit Athena di Pertempuran Marathon (490 SM). Kekalahan ini mencoreng wibawa Persia, dan dendam pun diwariskan kepada Xerxes I, putra Darius.
Sepuluh tahun kemudian, Xerxes melancarkan invasi besar-besaran dengan pasukan yang jumlahnya konon mencapai ratusan ribu prajurit, lengkap dengan armada laut raksasa.
Yunani sadar mereka tak mungkin menghadapi Persia secara terbuka di medan perang luas. Maka, mereka memilih strategi bertahan di lokasi yang memberi keuntungan alamiah: celah sempit Thermopylae.
Strategi Yunani: Menghadang di Celah Sempit Thermopylae
Thermopylae berarti “Gerbang Panas” terkenal karena sumber air panas alaminya, tempat ini terletak di jalur sempit antara pegunungan dan Laut Aegea. Lokasi ini hanya selebar beberapa puluh meter, membuat jumlah pasukan besar Persia tidak bisa digunakan secara maksimal.
Di sinilah Raja Leonidas I dari Sparta memimpin sekitar 7.000 pasukan gabungan Yunani, termasuk 300 orang prajurit elit Sparta yang terkenal disiplin dan sangat terlatih.