Pengantar: Apa Itu Isostasi?
Bagaimana bumi bisa menopang gunung-gunung tinggi tanpa runtuh? Bagaimana mungkin lembah yang sangat dalam tidak menyebabkan bumi “miring”? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya membawa kita pada konsep geologi penting yang disebut isostasi.
Isostasi merupakan sebuah prinsip yang menjelaskan bagaimana kerak bumi berada dalam keseimbangan di atas lapisan yang lebih plastis di bawahnya, yaitu mantel bumi. Seperti bongkahan es yang mengapung di air, kerak bumi pun "mengapung" di atas mantel. Ketika beban di permukaan bumi berubah, misalnya akibat pencairan es atau erosi pegunungan, kerak bumi akan menyesuaikan posisinya agar kembali ke keseimbangan.
Konsep ini lahir dari observasi dan pemikiran para ilmuwan besar seperti George Everest, George Biddell Airy, dan John Henry Pratt. Tulisan kali ini akan membawa kita dalam perjalanan memahami bagaimana konsep isostasi ditemukan, dikembangkan, dan diaplikasikan dalam ilmu geologi modern.
Memahami Istilah Isostasi
Secara etimologis, kata isostasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu isos (sama) dan stasis (keseimbangan). Dalam geologi, isostasi menggambarkan kondisi di mana kerak bumi berada dalam keseimbangan gravitasi di atas mantel. Hal ini berarti setiap bagian kerak bumi menyesuaikan kedalamannya di mantel berdasarkan berat dan karakteristik fisiknya.
Mari kita bayangkan permukaan bumi seperti air dengan rakit-rakit kayu yang mengapung di atasnya. Rakit kayu yang lebih berat (contoh: jati) akan tenggelam lebih dalam, sementara yang lebih ringan (contoh: Albasia) akan mengapung lebih tinggi. Begitu pula kerak bumi: gunung-gunung tinggi memiliki "akar" yang dalam ke dalam mantel, sedangkan dataran rendah memiliki akar yang lebih pendek atau kepadatan batuan yang berbeda. Proses inilah yang menjaga kestabilan permukaan bumi secara keseluruhan.
Penemuan Awal oleh George Everest
Nama George Everest mungkin lebih dikenal sebagai nama gunung tertinggi di dunia. Namun, kontribusinya terhadap ilmu bumi jauh lebih dalam dari sekadar penamaan itu. Sebagai Surveyor General of India pada abad ke-19, Everest memimpin survei trigonometrik besar yang bertujuan mengukur bentuk dan ukuran bumi dengan tingkat ketelitian yang luar biasa.
Selama proses survei di wilayah Himalaya, timnya menemukan adanya anomali gravitasi. Artinya, meskipun gunung-gunung besar memiliki massa yang besar, gaya gravitasi yang terdeteksi di sekitarnya tidak sebesar yang diharapkan secara teori. Fenomena ini membingungkan para ilmuwan saat itu: jika ada massa besar seperti gunung, seharusnya gaya gravitasinya juga besar, bukan?
Hasil pengamatan ini kemudian menjadi landasan awal bagi penelitian lebih lanjut oleh dua tokoh besar dalam geologi fisik: George Biddell Airy dan John Henry Pratt.
Peran George Biddell Airy dalam Konsep Isostasi
George Biddell Airy, seorang astronom Inggris, mengembangkan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Model Airy. Ia membayangkan kerak bumi seperti es yang mengapung di atas lautan mantel cair. Menurut model ini, gunung yang menjulang tinggi harus memiliki "akar" yang dalam ke bawah, yang berfungsi sebagai kompensasi massa.
Poin-poin utama dari model Airy antara lain: