Pendahuluan
Di pinggiran Sungai Rawas yang mengalir membelah bentang alam Kabupaten Musi Rawas Utara, kehidupan berjalan dengan ritme yang khas. Deru mesin dari perusahaan tambang batubara dan hamparan perkebunan kelapa sawit yang tak berujung menjadi latar belakang keseharian masyarakat kami, termasuk para murid di SMPN Bingin Teluk. Sebagian besar orang tua mereka adalah pilar ekonomi lokal: pegawai perusahaan, buruh harian, dan petani sawit yang bekerja keras membanting tulang dari fajar hingga senja.
Namun, di tengah kerja keras itu, ada sebuah realitas senyap yang kami, para pendidik, hadapi di ruang-ruang kelas: rendahnya motivasi belajar murid. Hasil Rapor Pendidikan sekolah kami menjadi data penguat utama atas tantangan ini. Pada tahun 2024, kemampuan Literasi dan Numerasi murid masih berada di level Sedang. Meskipun menunjukkan kenaikan dari tahun sebelumnya, status "Sedang" ini mencerminkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kami tuntaskan dalam memastikan kompetensi dasar murid telah kuat.
Di sisi lain, sebuah fenomena global telah merasuk hingga ke pedalaman Sumatera: jari-jemari lincah murid-murid kami lebih sering menari di atas layar gawai, terhanyut dalam gulungan video pendek TikTok yang seolah tak ada habisnya, hingga lupa waktu dan abai pada buku pelajaran.
Pemandangan ini menjadi titik perenungan. Kami sadar, menyalahkan teknologi atau kondisi sosial ekonomi bukanlah solusi. Kami harus bercermin. Sebagai guru, jangan-jangan kami adalah bagian dari masalah tersebut. Metode mengajar yang monoton, ceramah yang kurang menggugah, dan pembelajaran yang terasa jauh dari dunia nyata murid membuat sekolah menjadi ruang yang membosankan. Kesadaran kolektif inilah yang menjadi percikan api. Saya dan beberapa rekan guru memutuskan bahwa kami tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kami butuh wadah untuk berbagi resah, merancang gagasan, dan bergerak bersama. Lahirlah komunitas belajar di sekolah kami, sebuah ikhtiar untuk menjemput kembali semangat belajar murid yang hilang, dengan sebuah keyakinan: jika kami tidak bisa mengalahkan distraksi digital itu, maka kami harus merangkulnya dan mengubahnya menjadi kekuatan. Inilah kisah perjalanan kami, sebuah praktik baik tentang bagaimana sebuah komunitas belajar mencoba membangun jembatan digital antara dunia murid dan dunia pendidikan.
Situasi (Situation)
Langkah pertama dalam perjalanan komunitas belajar kami adalah melakukan identifikasi masalah secara mendalam, yang sejatinya merupakan fase Assess (Identifikasi) dalam siklus inkuiri kolaboratif. Kami tidak hanya berhenti pada gejala "murid malas dan suka main HP", tetapi kami menggali lebih dalam. Dalam diskusi-diskusi rutin, kami memetakan situasi secara komprehensif. Lanskap ekonomi di sekitar kami pertambangan dan perkebunan sawit menciptakan sebuah paradigma tentang kesuksesan yang sering kali tidak berhubungan dengan pendidikan formal. Murid melihat realitas kerja fisik yang menghasilkan uang secara langsung, membuat nilai-nilai akademis terasa abstrak dan kurang relevan. Ini adalah tantangan eksternal yang membentuk pola pikir mereka.
Secara internal, kami melakukan refleksi diri yang jujur. Praktik pedagogis kami cenderung berjalan di tempat. Guru masuk kelas, menjelaskan materi dari buku paket, memberi tugas, lalu pulang. Lingkungan pembelajaran yang kami ciptakan kurang merangsang keingintahuan. Kemitraan pembelajaran antara guru, murid, dan bahkan orang tua belum terjalin kuat. Kami menyadari bahwa murid-murid kami adalah generasi digital native. Mereka terbiasa dengan informasi yang cepat, visual yang menarik, dan interaksi instan. Sementara itu, kelas kami masih merupakan "ruang analog" yang sunyi dan satu arah. Kesenjangan inilah yang membuat TikTok dan game online menjadi pelarian yang jauh lebih menarik. Dari proses asesmen ini, kami menyimpulkan bahwa akar masalahnya adalah metode pembelajaran yang tidak lagi relevan dengan zaman dan dunia murid. Motivasi mereka rendah bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka tidak melihat makna (bermakna) dalam proses belajar yang kami tawarkan. Mereka tidak merasa gembira (menggembirakan) saat berada di kelas. Inilah titik awal kami untuk merancang sebuah perubahan.
Tantangan (Challenge)
Setiap gagasan perubahan pasti akan menemui tantangannya. Begitu pula dengan kami. Setelah kami sepakat bahwa pemanfaatan digital adalah kuncinya, tantangan nyata langsung menghadang di depan mata. Tantangan pertama dan yang paling fundamental adalah kesenjangan kompetensi teknologi informasi (IT) di antara kami para guru. Beberapa guru, terutama yang lebih senior, merasa gagap dan tidak percaya diri saat berhadapan dengan aplikasi atau platform digital baru. Ada keraguan dan kekhawatiran: "Apakah saya bisa?", "Ini terlalu rumit", "Metode lama saja sudah cukup". Resistensi halus ini adalah tembok pertama yang harus kami robohkan, bukan dengan paksaan, tetapi dengan persuasi dan pendampingan. Ini adalah ujian nyata bagi dimensi kolaborasi dan komunikasi dalam komunitas kami.