Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Patah Hati Lebih Enak Kalau Dijogeti

21 April 2020   03:02 Diperbarui: 21 April 2020   15:22 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels from Pixabay

Konon, kalau kita sedang patah hati, pikiran cenderung meresapi lirik daripada musiknya. Dengan lirik sendunya, perasaan kita bisa terwakili. Musiknya ada di garda belakang, hanya sebagai perangsang lirik dalam menuntaskan pesannya. Maka terciptalah nuansa nelangsa, sedih, pedih, pilu, dan berbagai macam wujud rasa muram.

Jika lagu patah hati kebanyakan berirama mellow, slow, mendayu, menyesuaikan dengan liriknya yang sendu, maka tidak dengan lagu-lagu yang akan saya sebut disini.

Tak usah jauh-jauh, siapa penyandang gelar Godfather of Broken Heart yang viral di tahun 2019? Siapa lagi kalau bukan Didi Kempot. Premis beliau adalah ketika kita patah hati, jangan dibawa sedih, lebih baik dijogeti. Didi kempot yang sudah struggle di Pop Jawa sejak tahun 90an ini berhasil memanen kesuksesannya kembali di usia tuanya kini.

Sekarang saya mengajak pembaca ikut menyebutkan lagu-lagu Didi Kempot yang bercerita tentang patah hati. Satu, Pamer Bojo. Dua, Cidro. Tiga, Kalung Emas. Empat, Dalan Anyar. Lima, Parangtritis. Stop! Kalau diteruskan bisa sampai shubuh. Karena lagu beliau terlampau banyak dan rata-rata isinya patah hati.

Namun apakah lagu-lagu patah hati Didi Kempot itu slow dan mendayu? Tidak. Pop Jawa ala Didi Kempot rancak, sigrak, dan enak buat berjoget. Pengaruh dangdut, langgam, dan musik pop adalah unsur pembentuknya. Maka jangan harap kita akan mendapatkan irama mellow di dalam lagunya.

Premis ini juga berlaku pada musik Fariz RM. Kalau Didi Kempot menyandang gelar Godfather of Broken Heart, maka Fariz RM adalah Godfathernya musik dansa. Bedanya Didi Kempot di jalur Pop Jawa, sementara Fariz RM berada di pop kreatif.

Persamaan keduanya ialah mampu mengelabui otot syaraf kita untuk berjoget di lagu yang galau. Kita sepakati dulu antara joget dan dansa adalah dua hal yang mirip, hanya gayanya saja yang berbeda. Maka dari itu pembahasan selanjutnya saya harap tidak ada dikotomi istilah.

Kita ambil saja satu lagu dari Fariz yang paling famous, Barcelona dari album Living in the Western World (1988). Itu gimana ceritanya lagu tentang orang mau pisahan tapi groovenya ngajak banget buat melantai? Kita simak liriknya, "esok ku kan pergi, tapi kuberjanji, pasti diriku kembali, untuk cinta yang tertinggal, di jantung Barcelona."

Lagu ini berirama pop latin, mengarah ke samba dipadu dengan akor musik flamenco. Tentunya musiknya semakin semarak dengan porsi solo Fariz dalam menyenggama keyboardnya terlampau paripurna. Dengan pemilihan sound-sound synth, brass, dan hit yang tegas, musik Fariz jauh dari kata sendu.

Berbeda dengan Guruh Soekarno Putra. Seniman serba bisa ini mencurahkan patah hatinya dalam konteks yang lebih unik. Simak lagu Nostalgia Hotel Des Indes (1979), lagunya berirama semi ragtime. Sangat enak untuk berdansa parlente ala pesta orang kulit putih zaman dulu ketika merayakan kebahagiaan.

 Melalui setting pada zaman Belanda, ia mengekspresikan dua keresahan. Satu, cinta kandas oleh strata sosial. "Rupanya putri Residen", begitu liriknya ketika sebelumnya ia mendeskripsikan si tokoh hanya pribumi biasa yang minder, mampir minum ke bar dan terpesona oleh satu gadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun