Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Upaya Membaui Musik

29 Maret 2020   04:14 Diperbarui: 29 Maret 2020   13:10 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mendengarkan musik (DragonImages) Via Kompas.com

Saya adalah pemuda asal Kebumen, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang berada di sapuan samudera Hindia. Desa saya dengan lautan hanya berjarak kurang dari 2 Km. 

Namun, predikat menjadi anak pantai masih bisa dipertanyakan. Satu, rumah saya tidak langsung menghadap pantai. Dua, dulu main saya juga seringnya di pekarangan, bukan di pasir. 

Tiga, profesi orang tua juga bukan nelayan, yang mana biasa disebut pawangnya lautan. Mungkin cukup kategorikan saya menjadi anak pesisir, yang sering meluangkan waktu ke pantai.

Mengidentifikasi sebuah pantai secara visual itu mudah. Sedikit saya gambarkan, pantai ini memiliki ombak lautan yang membumbung mencapai 3-4 meter, bahkan selalu kedengaran dari rumahku ketika menjelang subuh. 

Air lautnya lumayan jernih jika tak ada banjir. Buih putih lautnya tak habis-habis. Satu-dua kepiting kadang curi-curi lintas di pandangan. Langitnya seringnya berawan, kalau cerah bisa sangat biru, kalau senja bisa sangat jingga. Pasirnya hitam, kadar garamnya mungkin kelewat tinggi.

Yang agak susah adalah mengidentifikasi baunya. Bau pantai. Air laut, pasir, dan angin yang berhembus membawa aroma tersendiri dari sebuah pantai. 

Jika terminologi "asin" boleh dipinjam dalam kategori penciuman, mungkin demikianlah jawabannya. Kita semua mungkin bisa sedikit sepakat untuk mencium wangi hujan turun/petrichor. 

Ia cenderung mengarah ke bau potongan rumput dan lumut di tanah basah. Sedangkan pantai menurut saya sedikit ke percampuran amis, lembabnya pasir, dan lengketnya angin.

Memori akan bau pantai ini terekam di otak. Ia sering nongol jika saya mendengarkan sebagian musik yang bisa merangsangnya keluar. Walaupun posisi saya bukan sedang berada di pantai, jika perasaan ini keluar entah kenapa otak dan indera saya berdamai dengan keadaan. Saya merasa aman, saya merasa dirumah, saya merasa sedang di pantai saat itu juga.

Berawal dari klangenan saya akan musik populer Indonesia di pasca-kolonial, terdamparlah kuping ini ke lautan teduh musik-musik Hawaii. Musik ini pernah ada di Indonesia, sejak George de Fretes memulai debutnya menjadi musikus asli pribumi di era pra-kemerdekaan. 

Dalam bergulirnya waktu, ternyata musik ini selalu menemukan penikmatnya. Diprakarsanya grup The Elshinta Hawaiian Seniors oleh Mas Jos tahun 1969, perwira yang piawai mengelola musik ini meneruskan obor.

Grup tersebut memainkan musik Hawaii, musik yang satu rumpun dengan keroncong (pada awalnya), karena sama-sama disemai oleh bangsa Portugis. Musik ini punya karakter yang kuat pada harmoninya, irama ukulelenya, dan timbre steel gitarnya. Dengan permainan slide yang lincah-lincah malas, steel gitar menjadi ujung tombak keberhasilan musiknya membangun kerangka suatu suasana.

Musik Hawaii punya tempat yang spesial bagi kuping saya. Rata-rata mungkin sudah paham, musik ini identik dengan penggambaran keteduhan, daerah tropis, pantai pasir putih, pohon kelapa, dan ombak lautan. Benang merahnya adalah adanya kecocokan ketika saya merasakan gejala membaui pantai ketika mendengar musik Hawaii. Saking penasarannya sama kondisi ini, saya sedikit mencari tahu fakta-fakta menariknya.

Bertemulah saya dengan istilah sinestesia, istilah di displin neurologis. Istilah ini ternyata ada juga di didisplin sastra, yaitu metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.

Dilansir dari Livescience, sinestesia berarti kondisi neurologis yang menyebabkan otak mengolah data dalam bentuk beberapa indera sekaligus. Informasi yang diterima tumpah tindih. 

Konon, pengidap sinestesia akan dapat melihat warna pada suara (sebaliknya), mendengar suara sambil melihat bentuk, melihat warna pada bentuk, mencium aroma dari suara, mencicipi kata-kata, melihat ciri khusus waktu, tekstur yang menyebabkan emosi, dan lain sebagainya.

Menariknya lagi, kondisi ini langka, perbandingannya 1: 2000 orang. Lorde, Pharrel Williams, Hans Zimmer, Marlyn Monroe, konon juga pengidap sinestesia. Sekonyong-konyong saya langsung tertarik mengetes kondisi ini pada tubuh saya sendiri. "Wah bakalan seru nih", batin saya.

Saya mulai dengan mendengarkan musik yang berbeda, kali ini musiknya Ismail Marzuki. Ternyata indera penciuman saya tidak bekerja sama sekali, yang ada hanya penggambaran di imajinasi visual. Saya membayangkan melihat pahlawan sedang pamit perang, lalu beromantis sejenak dengan kekasih. Tidak ada bau.

Saya coba lagi pada musik Black Sabbath, juga tidak tercium sama sekali aroma musiknya. Yang ada sama, hanya imajinasi visual tentang kebrutalan memakan binatang hidup, pemuja setan, dan berbagai kengerian lain. 

Saya tak menyerah, saya coba lagi. Terakhir, saya tercetus ide untuk mendengarkan suara knalpot di Youtube. Sebelumnya, saya fokuskan untuk membaui bensin, saya memejamkan mata, namun usaha saya juga gagal. Tidak ada bau bensin sama sekali. Yang ada bau keringat karena belum mandi.

Percobaan ini gagal. Saya tidak mengulanginya lagi. Saya coba menganalogikan secara sederhana/kasarane terhadap kondisi saya saat membaui musik tersebut. 

Kondisi indera saya sebenarnya tidak bertumpang tindih seperti pengidap sinestesia, antara indera pendengaran dan indera penciuman baik-baik saja. Mungkin yang memproduksi bau pantai itu adalah sensor memori, merespon empirisnya, lalu kemudian otak mengimitasinya melalui imajinasi. Hanya imitasi, bukan gejala nyata.

Bau pantai itu menghasilkan imajinasi visual dan rasa yang mengakibatkan saya seakan berada di pantai dan dapat membauinya. Sedikit ke arah halusinasi sebenarnya, namun yang membedakan adalah keadaan saya sadar, bahwa saya tidak sedang berada di objek secara nyata. Dan juga saya sadar, bahwa saya hanya berangan-angan, sebatas membayangkan. Ternyata, saya tidak mengidap sinestesia.

Berbeda kondisi dengan pengidap sinestesia. Dalam pengakuan-pengakuannya, ia secara detail mampu menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dirasa, dan dicium tanpa mereka-reka. 

Coba saja kunjungi Vice, ada artikel wawancara dengan pelukis Melissa McCracken yang berkarya atas dasar persepsinya menangkap warna dalam lagu Pink Floyd, Radiohead, Jimmy Hendrik, Bon Iver, dll.

Secara umum, kita sepakat bahwa musik memang tidak berwujud, maka ia juga tidak berbau. Musik adalah seni auditif, ia dapat didengar untuk bisa menerima pesan yang ada di dalamnya. 

Namun ternyata bagi pengidap sinestesia, musik bisa saja berbau, berwarna, bertekstur, bahkan berbentuk. Kondisi ini sebenarnya menguntungkan bagi pengidap sinestesia, karena persepsi musik menjadi multi-dimensi. Otomatis ia merasa apa yang orang lain tak merasakan.

Kondisi ini mungkin dapat memperkaya penciptaan musik, dengan catatan sudah paham akan ilmu pengetahuan musik. Ia menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, yang bisa memunculkan penemuan baru. 

Kondisi ini mungkin juga sangat menguntungkan bagi pengajaran solfegio, karena metode yang ditawarkan mungkin akan lebih menarik dari yang sudah ada.

Saya juga mengharapkan bisa bertemu pengidap sinestesia secara langsung, terutama dalam merespon musik. Akan sangat menyenangkan bisa berbagi perspektif dalam membicarakan musik. Mungkin bisa membuat musik bersama-sama dengan metode sendiri-sendiri.

Namun semenjak ter-locknya bau pantai di memori, saya jadi suka menandai musik mana yang "mambu laut" dan mana yang tidak. Terbukti kecendurungan saya untuk menciptakan momen itu terwujud pada lagu Salah Tingkah, milik Rindulalu. 

Kebetulan saya penata musiknya. Lalu beberapa lagu dari teman yang ingin diarahkan agar suasana lautnya terasa. Menarik, karena menurut saya bau laut yang ada di memori ini bisa dibangun secara sengaja dengan mempertimbangkan harmoni akord, interval lagu, dan isian iramanya.

Walau bagaimanapun, upaya saya dalam mencoba membaui musik berakhir menyenangkan, meski gagal. Musik tetaplah odorless (tak berbau) bagi kami yang tidak mengidap sinestesia. 

Namun musik juga ternyata membuka berbagai pintu indera untuk mengitimasi respon. Bermain musik serasa lebih hidup jika bisa sampai membayangkan apa yang dimainkan.

Apalagi jika sampai merasa tenang, aman, dan merasa seperti dirumah sendiri. Mau bagaimanapun, rumah adalah tempat ternyaman di dunia ini.

Salam Menyiur Selalu,
Andri Asmara si Anak Pesisir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun