Selera adalah persoalan subjektif. Ia akan menjadi universal jika tahap persepsi dan afeksi pada seseorang sudah sepakat secara alamiah dalam kepekaan imajinasi, kejelian nalar, latihan, kemampuan perbandingan, dan bebas dari prasangka.Â
Selera juga tergantung pada pengalaman setiap orang, dan juga selera mampu membangun karakter seseorang yang jelas akan tetap berbeda di masing-masing individunya.
Untuk kejadian yang saya alami diatas, perundungan atas selera musik saya adalah dampak dari selera yang menjelma sebagai medan sosial. Selera bisa mengelompokkan individu-individu dan memberikan mereka identitas yang sama.Â
Oleh karena itu, selera dapat menentukan siapa yang menjadi bagian kelompok tertentu dan siapa yang tidak. Jika masih ada perundungan semacam ini, apakah Indonesia sendiri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika masih dipertanyakan daya keragamannya?
Meributkan soal selera musik adalah hal yang paling tidak penting. Membicarakan dan berbagi informasi yang konkrit tentang selera musik yang berbeda itu baru penting.Â
Terkadang kita membenci karena kita tak tahu dimana letak keistimewaan musik tersebut. Terkadang kita gatal untuk menghujat karena tak ada yang bisa dibanggakan oleh diri kita, sehingga tega untuk merendahkan orang lain.
Saya yakin, musik ada bukan untuk memecah-belah, namun ia ada untuk mempersatukan.
-Andri Asmara-
*) Beberapa kalimat dikutip dari buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya karya Idhar Resmadi.