Mohon tunggu...
andrianous
andrianous Mohon Tunggu... -

pengembara di gurun kehidupan, memulung kata yang berserakan di pinggir jalan, ingin menjadi 'seseorang' yang punya sayap, namun tetap memakai sendal jepit untuk berdiri di atas tanah sendiri. semper ridens.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yohanes Apa Dosa, Pemulung dengan Perut yang Dikerubuti Lalat

11 Januari 2019   00:21 Diperbarui: 11 Januari 2019   02:09 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

~Resh Romero

Minggu siang itu cerah seperti biasanya. Kami menuruni jalan setapak yang terletak di kiri jalan raya Fetor Funay, kira kira satu kilometer jaraknya dari gapura selamat jalan Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa Kota Kupang.

Tidak sulit memang menemukan rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk itu. Hanya berjarak 20 an meter dari jalan raya, letaknya di RT.25/RW.05 Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa Kota Kupang. Suasana gubuk yang berdinding seng serta spanduk bekas dan tempat sekitarnya lengang. Pintu gubuk dari tripleks pun tertutup saat kami tiba.

Ancis, seorang rekan yang menjadi penunjuk jalan coba memanggil penghuni rumah. Setelah dua kali panggilan, pintu dibuka, tampak seorang laki laki baya terbongkok-bongkok berdiri di balik pintu. Tubuhnya kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Tanpa mengenakan baju pula.

Rambutnya yang ikal tampak panjang tak terawat. Demikian janggutnya yang beruban. Ia hanya mengenakan celana pendek bergaris lurik yang kusam. Di bagian perutnya terlilit kain merah muda, yang di beberapa tempatnya tampak sudah menunjukkan flek.

Ia menyahut pelan, namun ramah terdengar. Mempersilahkan kami masuk, sambil ia berjalan tertatih dalam posisi membungkuk.

Segera ia menepi, ke sisi tempat tidur dari kayu yang terletak rapat di pojok ruangan. Sebenarnya, itu bukanlah bentuk tempat tidur dalam artian yang sebenarnya, karena hanya berupa potongan balok yang diletakkan melintang dan dialasi triplek dan spon lusuh. Penutupnya adalah kain kelambu yang warnanya telah memudar.

Ia mempersilahkan kami duduk di kursi, sedang ia di tepi "tempat tidur" itu. Entahlah, itu ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidur pula buat Yohanes Apa Dosa (56), lelaki yang kini hanya menghabiskan seluruh waktunya di atas tempat tidur itu.

Ketika saya mulai melempar tanya tentang hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukannya beberapa hari lalu di Rumah Sakit Bhayangkara Kupang, lelaki yang dahulu berprofesi sebagai pemulung itu tampak emosional. Matanya mulai berkaca, namun keegoan lelakinya mengalahkan titik air mata yang mulai menggenang di bola matanya yang tua.

Ia berkeluh, penderitaan yang melilitnya lebih dari satu tahun setelah melakukan operasi di RS Leona Kupang membuatnya seolah mati dalam hidup. Ia tak bisa lagi mencari nafkah untuk menghidupi isteri dan tujuh orang anaknya, bahkan hanya untuk bergerak dan beraktifitas kecil pun sulit. "Anak, saya langkah keluar mau kencing saja susah, jadi ini masih kencing di dalam botol," katanya.

Lubang di perutnya setelah operasi hingga kini belum mengering. Di sana, di lubang itu hampir setiap waktu keluar "kotoran" dari dalam perutnya. Kotoran yang seharusnya "dibuang" melalui saluran pembuangan di anusnya.

Di sana, setiap waktu dikerubuti lalat, juga aroma tak sedap yang menusuk indra penciuman. Di sana, setiap waktu ia harus berjibaku menutupnya dengan tisu, lalu melilitinya dengan kain untuk menahan kotoran itu tidak muncrat dan meluber kemana mana.

"Kadang kadang saya menangis sedih, saya lihat pertarungan yang dihadapi isteri dan anak-anak, hampir setahun dua bulan saya tidak bisa apa apa," ujarnya lirih.

Dalam kondisi sulit, ia masih berpikir tentang anak laki laki yang mengambil perannya sebagai pencari nafkah. Keluarganya yang sederhana, menghabiskan uang setiap harinya hanya untuk membeli tisu, itu yang utama dibanding sekedar membeli lauk pauk untuk menambah suplemen gizi bagi anak yang sakit sesuai saran dokter.

"Mau menangis, tidak bisa menangis. Mau teriak tidak bisa teriak, saya tersiksa dan tidak bisa buat apa apa dengan kondisi seperti ini. Saya ingin pulang saja ke Ende, lalu mati saja di sana, daripada di sini sengsara," keluh lelaki yang menginjakkan kaki di Kupang sejak 1994 silam.

Yohanes yang awal mulanya merasa kembung pada perut, kemudian diperiksa oleh dokter dengan vonis mengalami penyakit usus dan harus dioperasi itu lalu harus menerima kenyataan sengsara setelahnya karena tidak lagi bisa beraktifitas normal seperti sedia kala, termasuk memulung untuk menghidupi keluarganya.

Ia bersama keluarganya hanya berharap ada keajaiban yang bisa menyembuhkannya, baik secara medis maupun dalam bentuk dukungan dari orang yang berbaik hati. Pasalnya, selama lebih dari setahun bergumul dalam penderitaan, pemerintahan wilayah terkecil di tingkatan RT pun seolah tidak peduli pada keberadaannya. Demikian pula, saudara sekomunitas umat basis dalam Gereja Paroki pun demikian, setali tiga uang.

Hingga kini, ia hanya menghabiskan waktu di tempat tidurnya, sambil menahan bau dan mengusir lalat yang mengerubuti perut rentanya. 

*telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Miris! Tiap Hari Habiskan Dua Bal Tisu, Perut Yohanes Tetap Dikerubuti Lalat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun