Beberapa hari sebelum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, terjadi peristiwa demonstrasi di Pati. Pangkal masalahnya adalah kenaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang mencapai 250%. Kebijakan ini tentu memberatkan sebagian besar masyarakat yang saat ini sedang mengalami banyak kesulitan. Minimnya lapangan pekerjaan dan biaya hidup yang tinggi membuat hidup semakin sulit. Hal ini diperparah dengan perilaku pejabat yang seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sikap tidak peduli itu bukan isapan jempol belaka. Dalam kasus Pati misalnya, Bupati Sudewo tidak sungkan untuk menantang rakyatnya sendiri. Bahkan dengan arogan menyebut ia tidak takut kalaupun puluhan ribu rakyatnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Pernyataan yang kemudian ia "telan" kembali dalam bentuk permintaan maaf. Mencerminkan buruknya komunikasi publik dan empati yang rendah dari seorang pemimpin.
Pilihan untuk menaikkan tarif PBB ternyata tidak hanya terjadi di Pati. Di banyak Kabupaten/Kota, kebijakan yang sama juga diambil. Kenapa? Karena Pemerintah Daerah butuh uang. Kenapa? Karena Pemerintah Daerah pendapatannya berkurang. Kenapa? Karena dana daerah yang dikirimkan dari Pemerintah Pusat dipangkas. Sehingga, pemerintah daerah mencoba mencari sumber pendapatan lain, dan pilihan untuk menaikkan tarif PBB adalah salah satu yang paling gampang untuk diambil.
Namun keputusan ini mendapat reaksi keras dari masyarakat. Ada resistensi yang besar karena kenaikan tarif yang fantastis. Ini juga kekeliruan dari Pemerintah Daerah yang tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu, terutama ketika nilainya sangat signifikan. Paling tidak, mereka berkonsultasi dengan perwakilan rakyat di DPRD. Atau menaikkan tarif secara berkala misalnya, dan menerapkan tarif berjenjang sesuai dengan kelas masyarakat, sambil melihat perkembangan ekonomi di masa depan, sehingga tidak membuat rakyat terbebani.
Kasus korupsi yang terungkap, stigma pejabat yang koruptif, ditambah pajak yang tinggi, menjadi kombinasi maut. Seperti api ketemu bensin, tinggal tunggu tanggal mainnya. Dan momentum menjelang perayaan kemerdekaan terasa semakin "manis" karena penindasan yang dirasakan rakyat tidak sejalan dengan kemerdekaan Republik yang akan dirayakan. Katanya merdeka itu enak, kok yang enak pejabatnya saja? Walhasil, gerakan organik yang timbul dari keresahan yang sama menjadi bola salju yang tidak bisa dibendung.
Seharusnya pajak juga tidak menjadi satu-satunya sumber pemasukan bagi daerah. Ada retribusi dan BUMD yang masih bisa dioptimalkan. Retribusi dari tempat wisata misalnya. Di banyak tempat di Indonesia, tempat wisata masih banyak yang tidak dikelola dengan baik, sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh daerah tersebut. Atau BUMD-BUMD yang dimiliki oleh pemerintah daerah, yang bisa ditingkatkan lagi kinerjanya agar memberi imbal hasil lebih besar bagi daerah. BUMD tidak hanya menjadi ajang "balas budi" dari pemenang pemilu, sehingga tidak dikelola secara meritokrasi.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah terkesan malas. Mereka mencari jalan paling pintas yang menjadi bumerang. Kebijakan sepihak ini pada akhirnya menjadi katalis dari masyarakat yang jemu dengan sikap para pejabat tersebut. Pejabat tidak datang dengan solusi, malah menambah beban di pundak rakyat. Pejabat seperti abai dengan kondisi rakyat yang compang camping.
Demonstrasi yang sama juga terjadi di beberapa kota kabupaten lain yang mengambil kebijakan serupa. Masyarakat menolak adanya kenaikan tarif PBB yang dirasa tidak tepat waktunya. Tentu ini tidak bisa dianggap sepele, karena jika tidak ditangani dengan tepat, ini akan menjadi momentum revolusi oleh rakyat untuk mengambil alih pemerintahan yang dianggap tidak becus. Keresahan itu sudah ada. Amarah itu sudah ada. Jika pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) masih tidak mau berbenah, bukan tidak mungkin aksi yang lebih besar akan terjadi. Horas!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI