Mohon tunggu...
SITUMORANG YOSUA
SITUMORANG YOSUA Mohon Tunggu... Akuntan - To celebrate life, to do something good for others

Writing is living in eternity. Your body dead, your mind isn't.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dipasu-pasu Jala Diramoti Debata ma Indonesia

20 Agustus 2022   01:55 Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:22 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Sejarah mencatat bangsa kita mengalami penjajahan oleh dua bangsa yang berbeda, Belanda dan Jepang. Kita tahu, nusantara dulu juga sempat hampir ditaklukan oleh Portugis dan Inggris, namun Belanda dan Jepang lah yang paling "dalam" meninggalkan memori bagi negara ini. Penjajahan sering dikaitkan dengan kesengsaraan, penindasan, dan hal-hal negatif lainnya. Salah satu yang dekat dengan penjajahan adalah kerja paksa, dimana rakyat dipaksa untuk bekerja oleh penjajah tanpa mendapatkan perlakuan layak, seperti upah, makanan dan tempat tinggal layak, jaminan atas kesehatan, dan lain sebagainya, yang selayaknya diterima oleh seorang pekerja. 

           Penjajahan juga lekat dengan kesewenang-wenangan negara penjajah terhadap negara jajahannya.  Meskipun, pada akhirnya terungkap bahwa Belanda tidak sepenuhnya melakukan kerja paksa, karena mereka memberikan upah bagi pekerja paksa lewat bupati-bupati, namun upah itu tidak diteruskan ke para pekerja, tetapi tetap saja hal itu tidak dapat diterima secara manusiawi. Selayaknya manusia, tentu tidak cukup hanya makan dan minum saja, ada kebutuhan-kebutuhan lain yang harus terpenuhi, terutama kebutuhan primer, yaitu sandang, pangan, papan, sesuatu yang merupakan mimpi mewah bagi para pekerja paksa saat itu. Nikmat ini yang sering kita lupakan, sering tidak kita syukuri. Kemerdekaan atau kebebasaan saat ini, untuk beraktivitas, mewujudkan mimpi, berkreasi, adalah sesuatu yang mahal yang direbut dengan darah dan air mata. Tanpa adanya usaha, kita mungkin terjajah lebih lama, dan itu membuat kita terlambat untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.

             Sebelum kemerdekaan kita raih, leluhur kita dipaksa menjadi budak di tanah sendiri, tidak bisa mewujudkan mimpi dan kesejahteraan, karena waktu tenaga dan pikirannya di kuras untuk membangun bangsa-bangsa penjajah yang letaknya ratusan kilometer dari nusantara. Leluhur kita adalah manusia yang punya akal budi dan pikiran, namun dipaksa mematikan akal budi dan pikiran tersebut, diperah tenaganya, karena pikirannya tidak dibutuhkan. Hal ini menginisiasi perlawanan dari rakyat dan tokoh-tokoh perlawanan mulai bermunculan, salah satunya Tan Malaka.

               Tan Malaka pernah mengenyam Pendidikan di Belanda, dan bekerja untuk pemerintah Jepang di salah satu kamp kerja paksa di Banten sebagai juru tulis. Disana, melalui tulisannya diceritakan bagaimana kekejaman Jepang pada romusha, yang sering membuat Tan prihatin sekaligus pedih hati. Namun Tan juga tidak dapat berbuat banyak, ia membantu sebisanya karena pada saat itu ia bukan siapa-siapa. Ia juga tidak bisa terlalu kritis, karena akan mengundang kecurigaan dari tentara Jepang yang bisa menghabisinya sewaktu-waktu.

              Coba bayangkan jika pada saat itu kita lahir dari golongan rakyat jelata, bukan bangsawan, bukan tidak mungkin kita akan dijadikan pekerja paksa. Sedangkan saat ini, walaupun kita lahir dari keluarga biasa saja, kehidupan kita masih terjamin dengan baik. Tidak punya asuransi? Ada BPJS Kesehatan. Bagi yang bekerja, ada BPJS Ketenagakerjaan. Kecelakaan di jalan? Ada asuransi jasa raharja. Diperlakukan tidak baik, mencari keadilan? Bisa lapor ke kepolisian. Semua hal-hal yang kita nikmati saat ini adalah buah kemerdekaan yang diperjuangkan oleh leluhur kita. Walaupun belum ideal, tapi paling tidak sudah dimulai, tinggal diperbaiki secara terus menerus, sehingga menjadi lebih baik lagi pelayanannya. Hal-hal seperti ini yang lupa untuk kita syukuri. Padahal kalau kita ingat-ingat lagi, kurang dari 100 tahun yang lalu, kita bisa diperlakukan semena-mena sebagai pribumi, dan tidak banyak yang bisa kita lakukan .

              Saat ini, tugas kita tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan, tetapi mengisi kemerdekaan tersebut. Kata merdeka, yang menurut KBBI berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berarti kita sudah berdaulat penuh atas hidup kita sendiri. Kalau sebelumnya kita tidak dapat melakukan apa yang kita inginkan, karena harus mengikuti keinginan dari penjajah, saat ini kita bisa menentukan sendiri apa yang mau kita lakukan. Contohnya, kalau dulu kita mau jadi guru sangat sulit, karena penjajah maunya kita jadi pekerja paksa, sekarang kita bisa menjadi seorang guru. Kalau kesulitan dana, kita bisa cari beasiswa. Waktu zaman penjajahan, boro boro beasiswa, mau sekolah dimana saja kita tidak tahu, karena sekolah pada zaman itu hanya untuk kalangan tertentu, utamanya untuk para bangsawan atau ningrat. Bagi rakyat jelata, tidak dipukuli sampai mati saja sudah bagus.

              Maka dari itu, kita tidak perlu lagi ribut atau bertengkar, karena para founding father negara sudah merumuskan hal-hal yang luar biasa baik pada saat negara ini didirikan. Mereka adalah kelompok-kelompok lintas agama, suku, dan ras, yang berkumpul dan berdiskusi secara mendalam, agar semua agama, suku, dan ras yang ada di wilayah yang nantinya akan menjadi sebuah negara ini, dapat hidup dengan rukun dan terakomodir dengan baik untuk menjalankan agama/kepercayaannya, menjalankan adat istiadatnya, dan tentu saja menjalankan aktivitasnya sebagai insan manusia yang utuh, terpenuhi kebutuhannya bukan secara badani saja, namun juga secara rohani dibawah satu payung besar bernama Indonesia. Mengingat beragamnya latar belakang agama, ras, suku, dan budaya, dari kelompok perumus dasar negara pada saat itu, tidak menjadikan berdirinya negara ini sebuah kemustahilan. 

              Saat ini, di era keterbukaan informasi, banyak kita temui kelompok yang ingin memecah belah persatuan bangsa. Kelompok-kelompok dari satu keyakinan tertentu yang menggerus keharmonisan nusantara, memaksakan agar ide, gagasan, dan "warna" keyakinan yang mereka anut diterima oleh golongan yang lain. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat awal berdirinya negara ini, dimana negara ini bukanlah negara yang merujuk pada satu agama tertentu, negara ini adalah negara yang ber-Tuhan. Bahwa setiap agama meyakini adanya Tuhan, Sang Pemilik Hidup, pemegang kekuasaan tertinggi di alam semesta, itulah yang disepakati bersama oleh para pendiri bangsa, sesuatu yang sangat relevan sampai saat ini. Lantas buat apa terus ribut? Bukankah damai lebih baik? Saling meyakini bahwa perbedaan itu memang ada, namun bukan sesuatu yang perlu di persoalkan berlebihan. Kita tetap bisa duduk bersama, bersenda gurau, bercengkrama, tanpa harus baku hantam memaksakan keyakinan kita pada kelompok lain.

             Namun, di tengah rongrongan kaum radikal, masih banyak juga kaum-kaum nasionalis yang toleran, yang menganggap saudara yang tidak satu keyakinan adalah saudara dalam kemanusiaan, saudara sebangsa setanah air. Karena kalau tidak ada kelompok-kelompok yang masih melihat cinta dan kasih sebagai perekat bangsa, negara ini tidak akan berdiri hingga tahun yang ke-77. Inilah yang harus terus kita rawat, terus kita jaga. Orang jahat hanya akan menang jika orang baik diam. Sangat disayangkan, kalau negara yang begitu indah harus jatuh dan tercerai berai. Terus berjuang orang-orang baik, semoga kelak hingga akhir hayat kita dan seterusnya, Indonesia tetap menjadi Indonesia, utuh sebagaimana mestinya, tidak menjadi korban haus kekuasaan dan gila surga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun