Rasa kemendesakkan (urgency) seperti ini mesti tumbuh (ditumbuhkan) seluas mungkin, sampai terasa momentumnya.
Ini bukan soal gampang. Lantaran dalam kenyataannya banyak pihak yang tidak merasakan urgensinya. Mereka malah nikmat dengan karut-marut aturan hukum yang ada. Bagi mereka kondisi ini adalah zona nyaman (comfort-zone). Ini kelompok abnormal yang biasanya ya para mafia hukum. Ketidakpastian hukum adalah menu kesukaannya.
Tapi toh kita sama-sama percaya bahwa mayoritas masih berakal sehat. Dan mayoritas kepingin aturan hukum yang sinkron (tidak saling menihilkan) dan oleh karenanya bisa ditegakkan dengan lebih baik. Kepastian hukum bisa lebih terjamin.
Manajemen perubahan mengenal dua tipe perubahan. Tipe pertama adalah kondisi terpaksa berubah lantaran sudah terbakar. Ini perubahan lebih gampang dikelola.
Tipe kedua mesti berubah lantaran visi, demi menuju kondisi yang lebih baik di masa depan. Ini perlu pengkondisian terlebih dahulu.
Tapi prinsip utama manajemen perubahan adalah sama. Yaitu merasa ada urgensi untuk berubah.
Urgensi untuk berubah tentu mengasumsikan bahwa kita sama-sama tahu kemana mesti berubahnya (tujuan, goals, obyektifnya). Dan sama-sama sadar sesadar-sadarnya bahwa kondisi saat ini (current situation) berupa silang sengkarut aturan hukum yang ada amatlah parah dan melumpuhkan.
Maka terkait dalam soal program Omnibus Law yang diinisiasi oleh pemerintahan Joko Widodo ini, seyogianya juga menempuh langkah pengkondisian (conditioning) ini. Agar momentum perubahan (untuk beralih dari kondisi silang-sengkarut menuju tertib hukum) bisa tercipta. Ada banyak cara, teknisnya bisa kita bahas lain waktu.
Kali ini soal prinsip terpenting dalam manajemen perubahannya dulu.
Sekarang soal yang kedua, kita menilik soal manajemen komunikasinya.
Prinsip terpenting dalam komunikasi adalah kepercayaan (trust). Saling percaya ini penting agar irisan pertemuan dari isi kepala dan isi hati kedua belah pihak yang berkomunikasi itu semakin besar.