*Disinformasi Omnibus Law: Studi Kasus Manajemen Perubahan & Komunikasi*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Kali ini yang kita soroti bukan soal isi Undang-Undang yang amat tebal itu. Dan bakal ada beberapa paket omnibus law lagi yang menyusul.
Berangkat saja dari intensi atau maksud digulirkannya kerja raksasa di bidang politik hukum dari pemerintahan Joko Widodo. Intensinya sangatlah baik. Semua sudah tahu itu.
Bagaimana tidak, selama ini toh kita selalu merindukan adanya kepastian hukum. Karena realitasnya aturan hukum yang ada sekarang saling tumpang tindih, sehingga menegasikan satu dengan lainnya.
Kita kerap terpentok gang buntu, atau malah tersesat di labirin rimba raya aturan hukum yang malah dipakai oleh para calo peradilan sebagai komoditasnya. Hukum rimba deh jadinya, siapa kuat (duit dan atau kuasanya) dialah yang menang.
Sekarang carut-marut itu hendak dibereskan. Ini kerja raksasa dan strategis (demi masa depan bangsa kita). Dalam skema paket omnibus law ada puluhan aturan perundangan yang mau diharmonisasi. Disetem gitarnya supaya tidak fals.
Okelah, sekali lagi kita tidak hendak berdebat soal isi bus omni yang sedang mengangkut banyak aturan perundangan itu. Jadi mau bahas apa dong?
Kali ini kita perbincangkan saja 2 soal: pertama soal manajemen perubahan (change-management), dan kedua soal manajemen proses komunikasinya (communication process management). Soal pengelolaan, atau manajemennya.
Prinsip pertama dari manajemen perubahan adalah... ya niat (kehendak) untuk berubah (change). Seluruh partisipan program perubahan mesti merasakan semacam 'burning-platform', atau pijakan yang semakin panas membara lantaran terbakar.
Sehingga kalau kita tidak segera melompat, ya pilihannya tinggal habis terbakar dan pasti mati. Maka harus melompat, kalau mau ada alternatif selamat. Change or die! Berubah atau mampus.