Tidak berapa lama saat pandemi Covid-19 memaksa warga berbagai negara untuk berdiam diri di rumah, netizen seluruh dunia melaporkan bahwa langit saat ini tampak lebih biru daripada biasanya. Di Italy, tempat wisata kanal Venice yang termasyur di dunia terlaporkan lebih bersih. National Aeronautics and Space Administration (NASA) lembaga pemerintah Amerika Serikat bahkan mempublikasikan bahwa nitrogen dioxide di China turun drastis akibat pemberlakuan peraturan seluruh warga China berada di rumah.
Sebagaimana diketahui, nitrogen dioxide merupakan polutan udara beracun yang dihasilkan dari mesin pembakaran seperti kendaraan bermotor, pembakaran generator, kompor gas,dan banyak lainnya. Dampak senyawa kimia dengan rumus NO2 ini memicu hujam asam, mengancam kesehatan pernafasan manusia, dan mendorong terbentuknya lapisan ozon.
Rangkaian berbagai peristiwa terkait alam yang dialami seakan mengingatkan kembali hubungan 3 (tiga) faktor utama penggerak kehidupan dunia, yaitu : manusia, ekonomi, dan bumi, selama ini terjadi ketidakseimbangan yang ekstrim. Sebelum Covid-19, manusia membangun relasi ekonomi dengan erat dan mendominasi serta tidak mengambil langkah signifikan yang merawat bumi. Tatkala bumi saat ini seolah-seolah dimenangkan oleh Covid-19, eksistensi manusia dan ekonomi yang terancam. Ditandai dengan angka pengangguran yang merangkak naik dan ancaman resesi ekonomi menanti.Â
Jika Covid-19 berlalu, manusia dengan akalnya berhasil menciptakan berbagai cara untuk mengantisipasinya, masalah tentang bumi pun belum selesai. Live Science pada tanggal 23 Juni 2020 melaporkan wilayah Siberia memecahkan rekor dengan suhu tertinggi atau terpanas sepanjang pencatatan suhu dimulai sejak tahun 1885. Di salah satu kota di Siberia, Verkhoyansk, tercatat mencapai 38 derajat celsius. Verkhoyansk merupakan kota dengan 1,300 penduduk yang terbiasa menikmati rentang suhu titik terendah mencapai rata-rata minus 49 derajat celsius atau paling ekstrim di Bumi. Efek tingginya suhu berakibat pada cairnya es di Kutub Utara, menaikkan air laut, hingga menenggelamkan daratan. Bagi ilmuwan, kabar ini bukan kabar baru dan sudah terprediksi.
Indonesia sendiri dengan naiknya air laut akan sangat terdampak. Sebuah penelitian yang dirilis oleh Nature Communication pada 29 Oktober 2019 dengan judul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Risa and Coastal Flooding mengungkapkan permukaan air di seluruh dunia diprediksi akan naik hingga 2 (dua) meter atau lebih pada tahun 2050. Penelitian dilakukan dengan mengukur topografi garis pantai di seluruh dunia dan kenaikan air lautnya. Kota-kota di Asia, termasuk Indonesia seperti Jakarta, akan merasakan dampak terbesar dari kenaikan air laut.
Pimpinan dunia sudah mengetahui permasalahan lingkungan yang terjadi. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, telah diterbitkan resolusi PBB perihal 17 Tujuan Global atau dikenal dengan Sustainability Development Goal’s (SDG’s) pada tanggal 21 Oktober 2015 yang menjadikan lingkungan menjadi salah satu permasalah yang harus diselesaikan masyarakat dunia. United Nations Global Compact sebagai lembaga terafiliasi dengan PBB juga menggandeng the Global Reporting Initiative (GRI) dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) untuk mengajak perusahaan-perusahaan swasta berpartisipasi dan mengintegrasikan pemerintah dan swasta ke dalam arah SDG’s yang praktis pelaksanaanya. Hal ini ditandai dengan peluncuran panduan SDG’s Compass Guide pada tahun 2017.
Kunci menyelamatkan Indonesia selanjutnya ada pada kebijakan pemerintah Indonesia pro-bumi yang lebih progresif, konsisten dan dampaknya nyata dirasakan. Pemerintah harus maju ke depan mengambil peran sebagai konduktor seluruh elemen masyarakat. Tidak bisa mengharapkan sektor usaha yang dengan sadar mengambil peran ini sebab sudah menjadi kodrat dasar usaha untuk kental akan keputusan ekonomi. Suka tidak suka harus dilakukan sebab efek kerusakan alam sudah didepan mata.
Rencana pemerintah untuk melakukan penghapusan bahan bakar tidak ramah lingkungan dapat menjadi contoh yang baik. Dalam relasi manusia – ekonomi – bumi, kali ini bumi dimenangkan untuk the greater good. Pengurangan emisi karbon yang menjadi tantangan seluruh negara dapat terlaksana dengan signifikan. Tugas pemerintah selanjutnya bagaimana mengantisipasi dampak kebijakan terhadap manusia dan ekonomi sebab selama ini banyak manusia Indonesia terbiasa untuk mengkonsumsi bahan bakar tersebut.
Kebijakan progresif lainnya antara lain diterbitkannya aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 051/2017 perihal Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Melalui peraturan ini, industri perbankan diajak untuk berkomitmen menyalurkan kredit bank untuk pembangunan berwawasan lingkungan. Di tahun 2018, saat OJK melakukan survei terhadap 8 bank besar di Indonesia, kredit hijau yang tersalurkan baru sekitar 2%. Diharapkan kredit hijau dapat terus bertumbuh di masa yang akan datang. Jika ingin lebih progresif, mungkin Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mendirikan bank hijau sebagaimana adanya bank khusus untuk syariah. Kinerja biasanya akan lebih baik karena fokus dan nafas operasionalnya menginternalisasi nilai lebih baik.
Untuk sektor usaha, selain mendorong penerapan hijau bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik, pemerintah ada baiknya turut serta dalam memberikan insentif-insentif tertentu pada Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk memproduksi barang setengah jadi atau barang jadi ramah lingkungan. UKM menjadi komponen masyarakat yang juga penting sebab komponen inilah yang sebenarnya menopang operasional lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Mungkin pemerintah dapat mempertimbangkan insentif yang berdampak langsung pada keuangan dan operasional UKM seperti potongan pajak untuk usaha atau pinjaman tanpa bunga.
Jika kebijakan progresif pro-bumi terus dilakukan dan terasa nyata dampaknya, perlahan-lahan untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan seluruh manusia Indonesia, khususnya menyeimbangkan relasi manusia - bumi - bumi, bukan menjadi hal yang mustahil. Akhirnya, bumi yang merupakan rumah manusia mendapatkan apa yang menjadi haknya.
ASW- 25 Juni 2020