Mohon tunggu...
Andre Barahamin
Andre Barahamin Mohon Tunggu... -

Penulis amatir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kamisan: Kesabaran dalam Kebisuan

30 Agustus 2013   11:31 Diperbarui: 19 Januari 2017   10:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Kamisan ke 454 di seberang Istana Negara, Kamis (11/8/2016). || Kristian Erdianto/KOMPAS.COM

Jika anda berdomisili di Jakarta, luangkan sore anda di hari Kamis dan kungjungilah Istana Negara antara jam empat dan jam lima sore. Bukan sebagai ajang tur wisata di fasilitas negara yang mewah. Melainkan agar dapat anda saksikan sekumpulan orang berpakaian hitam yang berdiri membisu tepat di depannya. Jumlahnya tak seberapa. Mereka kebanyakan orang-orang yang dari segi umur tergolong uzur. Mengusung beberapa poster dan foto dari orang-orang yang tentu tak familiar dalam ingatan kita. Beberapa menggunakan payung berwarna sama dengan tulisan pendek berwarna putih.

Tak ada bising pidato politik dari pengeras suara. Tak juga terdengar yel-yel politis yang riuh. Hanya ada kebisuan. Ini adalah tradisi Kamisan yang diselenggarakan setiap hari Kamis, sejak 19 April 2007. Total hingga tanggal 14 Oktober kemarin, Kamisan sudah memasuki pekan ke 190. Bukan jumlah yang sedikit dan tentu saja bukan waktu yang sebentar. Angka yang tentu tidak akan dirayakan meriah layaknya pesta ulang tahun. Melainkan menjadi monumen imajiner dari upaya tak henti dari keluarga korban, para survivor dan mereka yang bersimpati, menuntut keseriusan negara menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi.

Di bawah langit yang tak pernah tentu cuaca, mereka berdiri di seberang istana. Melukiskan kebekuan yang berawal dari harapan yang tak pernah surut mengharapkan keadilan datang. Orang-orang itu datang dari berbagai lintasan waktu zaman dan menyatu karena dipertemukan oleh luka yang sama. Barisan itu terus hadir secara konsisten di setiap hari dan waktu yang sama setiap minggu untuk melemparkan kesabaran mereka yang mengeras menjadi tuntutan kejelasan pengungkapan kasus yang menimpa anggota keluarga mereka dan mereka sendiri.

Kamisan adalah sebuah aksi yang di inisiasi oleh Usman Hamid dari Kontras dan Rusdi Marpaung dari Imparsial sebagai kampanye yang berkelanjutan untuk menekan negara segera memenuhi hak-hak para korban dan keluarganya.

Aksi ini terinspirasi dari gerakan para ibu-ibu di Argentina di suatu sore tahun 1977 yang berdiri di depan Plaza de Mayo dengan kerudung berwarna putih sebagai dress code. Ini adalah aksi protes damai yang kemudian berlangsung terus selama lebih dari tiga puluh tahun untuk mendesak junta militer Argentina yang berkuasa saat itu terhadap penghilangan dan pembunuhan anak-anak mereka.

Di kemudian hari ibu-ibu ini lebih dikenal dengan nama Asociacion Madres de Plaza de Mayo atau Asosiasi Ibu-ibu Plaza de Mayo. Penyelenggaran Kamisan juga tak selalu mulus.

Aksi di minggu ke 58 yang dibatalkan adalah contoh. Saat itu aksi ini tak mendapat restu dari Polda Metro Jaya karena bertepatan dengan hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW. Pihak kepolisian berpendapat bahwa tak boleh ada kegiatan demonstrasi pada hari libur keagamaan seperti ini. Bimo, mahasiswa semester akhir Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia adalah satu dari sedikit orang yang mau ada di barisan itu. Ia bukan survivor dari salah satu kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung jelas pangkalnya.

Juga tak ada anggota keluarganya yang menjadi korban di situ. Tenaga relawan di Kontras ini menemukan arti lebih di setiap jam yang dilewati saat Kamisan berlangsung.

Baginya, ini sesuatu yang berbeda. Berdiri di satu titik, menghadapi salah satu simbol negara tanpa kata. Mentransformasikan tubuh masing-masing mereka sebagai medium untuk menyampaikan pesan kepada negara. Lukisan utuh dari sosok-sosok yang harapannya untuk sembuh dari luka terus dikikis oleh kebungkaman penguasa. Dalam profil Kamisan yang dapat didownload di situs resmi Kontras, dengan jelas mereka mendefinisikan aksi ini.

Meskipun kami hanya berdiri dan diam tapi kami tetap ada dan kami tetap menuntut hak kami sebagai manusia dan sebagai warganegara. Kami harus berdiri, sebagai simbol bahwa kami adalah warganegara yang tetap mampu berdiri untuk menunjukkan bahwa kami punya hak. Kami sadar bahwa hak kami tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih ketika pemerintah dan masyarakat membiarkan kami dan tidak mendengar kami.

Ini manifesto keteguhan dan kesabaran yang memparodikan sikap negara kepada mereka. Luntur secara perlahan dan akan semakin habis terkikis jika negara masih terus saja memalingkan wajah dan menutup telinganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun