Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "old money" kembali populer di kalangan muda urban. Di TikTok, Instagram, bahkan YouTube, kita bisa menemukan berbagai konten yang membahas tentang gaya berpakaian, perilaku, bahkan gaya hidup para pewaris kekayaan lama. Ada yang menyebutnya sebagai gaya hidup antitesis dari budaya flexing. Tidak ada logo besar-besaran, tidak ada pamer saldo, hanya kesan elegan yang kalem, bersih, dan seolah tidak berusaha keras untuk terlihat kaya. Tapi apakah gaya hidup ini benar-benar bisa ditiru oleh siapa pun?
Gaya "old money" secara estetika merujuk pada pakaian-pakaian klasik dan berkualitas tinggi: blazer berbahan wol, sepatu kulit buatan tangan, celana khaki yang potongannya presisi, hingga perhiasan yang nyaris tak mencolok. Warna-warnanya pun netral dan timeless --- beige, navy, camel, atau abu-abu. Tidak ada aksen mencolok yang mencoba menarik perhatian. Dalam budaya old money, justru makin minim usaha untuk terlihat mencolok, makin tinggi status sosial yang terkomunikasikan secara halus.
Masalahnya, tren ini justru banyak diminati oleh mereka yang bukan berasal dari kalangan tersebut. Kelas pekerja --- atau mereka yang berada di "new money" stage --- berlomba-lomba meniru tampilan dan gaya hidup yang identik dengan aristokrasi. Mereka menyisir toko vintage, berburu merek-merek lawas, bahkan meniru cara bicara atau aktivitas liburan seperti polo, golf, hingga wine tasting. Sayangnya, meskipun semua itu bisa dipelajari dan dicoba ditiru, tetap ada batasan yang tidak bisa ditembus hanya dengan penampilan.
Old money bukan sekadar estetika. Ia adalah warisan --- bukan hanya dalam bentuk aset, tapi juga budaya, pola pikir, dan akses yang sudah mendarah daging selama beberapa generasi. Orang-orang dari lingkungan ini dibesarkan dengan pemahaman tentang cara membawa diri di ruang-ruang elit, memahami etiket sosial, memiliki jejaring pertemanan yang kuat dan tertutup, serta tidak merasa perlu untuk "membuktikan" apa pun. Dalam dunia mereka, eksklusivitas adalah nilai utama. Dan inilah alasan mengapa, sering kali, kelas atas tidak tertarik berbaur dengan mereka yang terlalu keras berusaha masuk.
Sebuah artikel dari Business Insider bahkan menyoroti kecenderungan orang-orang kaya lama yang justru menghindari individu yang terlalu negatif, terlalu ingin menonjol, atau tampak terlalu berambisi. Ini bukan berarti mereka membenci pendatang baru, tapi karena dunia mereka memang dibangun di atas nilai konservatif yang menghargai kestabilan, keanggunan, dan keheningan --- bukan kehebohan dan kompetisi sosial.
Ada satu hal menarik: banyak orang berpikir bahwa memakai barang branded bisa mengangkat status sosial mereka. Padahal, bagi kalangan old money, membeli barang mahal bukan untuk terlihat kaya, tapi karena mereka menghargai kualitas. Sepatu seharga jutaan rupiah bukan dibeli karena ingin pamer, tapi karena bisa bertahan 10 hingga 20 tahun. Kemeja custom bukan soal harga, tapi karena potongan dan kenyamanannya jauh lebih baik dibanding pakaian massal. Dengan cara inilah mereka justru lebih hemat dalam jangka panjang, karena tidak perlu terus-menerus membeli baru.
Dari sinilah terlihat bahwa gaya hidup old money bukanlah gaya yang instan. Ia tidak bisa dibeli di mal dalam satu akhir pekan. Ia adalah hasil tempaan lingkungan dan pendidikan, pembiasaan rasa, dan jaringan sosial yang sangat tertutup. Oleh karena itu, meniru tampilan luarnya tanpa memahami fondasinya seringkali hanya menciptakan ironi: terlihat seperti bermain peran, bukan mencerminkan kenyataan.
Bukan berarti seseorang tidak bisa mengadopsi nilai-nilai baik dari gaya hidup ini. Justru banyak hal yang bisa dipelajari --- seperti pentingnya kualitas dibanding kuantitas, konsistensi dalam gaya pribadi, atau keanggunan dalam membawa diri. Tapi penting untuk tidak terjebak dalam ilusi bahwa dengan berpakaian seperti bangsawan, maka seseorang bisa serta-merta masuk ke dalam lingkaran old money. Sebab yang membuat mereka eksklusif bukan hanya baju atau barang, melainkan akses, reputasi keluarga, dan tradisi yang dijaga turun-temurun.
Alih-alih berfokus untuk "menjadi seperti mereka", mungkin akan lebih bijak jika kita fokus pada membangun nilai kita sendiri. Mengembangkan rasa percaya diri tanpa perlu validasi dari simbol status, membangun kualitas diri dan usaha secara bertahap, dan menjaga hubungan sosial yang sehat dengan siapa pun tanpa berusaha menjadi seseorang yang bukan diri kita. Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang dihargai bukanlah merek bajunya, tapi karakternya.
Gaya hidup old money memang menarik, memesona, dan misterius. Tapi ia tidak untuk semua orang --- dan memang tidak perlu untuk semua orang. Sebab yang membuat seseorang terlihat elegan bukanlah label yang ia pakai, tapi cara ia menjalani hidup. Dan itu, tak bisa dipalsukan.