Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

HIPMI: Himpunan Pengangguran Muda Indonesia?

8 Juli 2025   15:38 Diperbarui: 8 Juli 2025   15:38 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengusaha Sukses (Sumber: https://www.unionlogistics.co.id/mental-pengusaha-yang-wajib-dimiliki-agar-bisnis-maju/)

Dalam beberapa pekan terakhir, media sosial sempat diramaikan oleh pernyataan yang cukup kontroversial: "HIPMI itu isinya pengangguran semua." Komentar ini muncul dari sebuah wawancara yang kemudian viral, memancing reaksi beragam dari publik. Sebagian tertawa, sebagian tersinggung, sebagian lainnya mengangguk diam-diam, seolah mengamini tanpa ingin terlalu kentara. Tapi benarkah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) pantas disandingkan dengan istilah "pengangguran muda"?

Pertama-tama, mari kita telaah lebih jujur. Banyak memang anggota HIPMI yang secara teknis tidak memiliki pekerjaan tetap sebagaimana dipahami masyarakat awam. Mereka tidak berangkat pagi pulang petang, tidak punya ID card perusahaan, bahkan tidak sedikit yang belum memiliki badan usaha berbentuk resmi. Tapi apakah itu berarti mereka adalah pengangguran? Tentu tidak semudah itu menyimpulkannya.

Yang sering dilupakan dalam perdebatan ini adalah bahwa HIPMI bukan tempat berkumpulnya para karyawan. Sejak awal didirikan, HIPMI memang ditujukan sebagai wadah bagi para calon pengusaha, pengusaha pemula, maupun mereka yang tengah mencari peluang usaha. Jadi wajar jika banyak dari anggotanya belum "settled" secara struktur bisnis. Justru dari sinilah semangat kewirausahaan itu tumbuh: dari ketidakpastian, dari masa transisi, dari keinginan untuk tidak sekadar menjadi pegawai.

Namun, jika kita bicara secara realita sosial, tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar anggota HIPMI memang berasal dari latar belakang ekonomi yang mapan. Banyak yang adalah anak pejabat, anak pengusaha besar, bahkan tidak sedikit yang memiliki akses istimewa terhadap proyek-proyek pemerintah maupun swasta. Hal ini pula yang membuat tudingan bahwa HIPMI adalah tempat berkumpulnya para "calo proyek" tidak sepenuhnya salah. Dalam banyak kasus, memang ada praktik semacam itu. Seorang anggota HIPMI dengan mudahnya mendapatkan proyek miliaran rupiah, bukan karena proposalnya unggul, tapi karena kenal dengan pengambil kebijakan.

Apakah ini sesuatu yang perlu dikutuk? Tergantung dari mana kita melihatnya. Di satu sisi, ini memperlihatkan betapa elitis dan tidak meratanya akses terhadap kesempatan ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, ini adalah cermin realitas --- dunia usaha, seperti politik, seringkali dibangun di atas relasi dan bukan meritokrasi. Dan HIPMI hanyalah salah satu refleksi dari dunia itu.

Menariknya, HIPMI sebagai organisasi justru sangat aktif membangun citra sebaliknya. Coba telusuri kata kunci "HIPMI" di mesin pencari, maka yang muncul adalah berita-berita seperti "HIPMI bantu berantas pengangguran", "HIPMI akan gelar job fair", "HIPMI dorong UMKM naik kelas", dan seterusnya. Di balik sorotan sinis, mereka tetap berupaya mengubah narasi. Bahkan bisa dibilang cukup lihai dalam mengubur opini-opini negatif dengan segudang pemberitaan positif.

Namun satu hal yang layak dicatat: walaupun dibilang pengangguran, anggota HIPMI bukan orang-orang bodoh. Justru sebaliknya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berani keluar dari jalur aman menjadi karyawan, yang berani berspekulasi dengan kapital, dan yang tidak ragu menggunakan semua sumber daya --- baik finansial maupun sosial --- untuk memperbesar peluang. Mereka bisa saja tidak bekerja dalam definisi konvensional, tapi mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Mereka punya ide, punya modal, dan yang paling penting: punya jaringan.

Bukan berarti tidak ada kritik yang valid. Ketimpangan sosial yang terjadi di tubuh HIPMI --- antara mereka yang betul-betul membangun bisnis dari nol dengan yang hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan --- adalah kenyataan yang harus diakui. Bahkan bisa menjadi refleksi bagi organisasi ini untuk terus memperluas inklusi. Jika tidak, maka HIPMI akan terus dipandang sinis sebagai klub eksklusif bagi kaum elite muda yang hobi menyebut diri pengusaha padahal belum pernah merasakan susahnya mengurus izin usaha.

Pada akhirnya, "pengangguran" dalam konteks HIPMI mungkin memang bukan pengangguran seperti yang dipahami oleh Badan Pusat Statistik. Mereka bukan jobless, tapi jobfree --- bebas dari sistem kerja konvensional, namun tidak berarti tanpa arah. Mungkin yang dibutuhkan HIPMI bukan pembelaan reaktif, melainkan penguatan nilai-nilai kewirausahaan yang lebih inklusif, transparan, dan berbasis kontribusi nyata.

Jadi ketika seseorang berkata bahwa HIPMI itu isinya pengangguran, kita bisa menjawab: iya, banyak yang belum punya pekerjaan tetap. Tapi bukan karena tidak mampu, melainkan karena sedang menyusun pijakan untuk menciptakan lapangan kerja. Dan kalau pun ada yang hanya sekadar "calo proyek", maka itu bukan kesalahan organisasinya, tapi budaya sistemik yang sudah sejak lama dibiarkan berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun