Mohon tunggu...
Andreas S
Andreas S Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Law enforcement for all.... 2014 is a milestone for law enforcement for Indonesia with new leader to lead.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Orang Karo Pongah Menggunakan Batak Untuk Nama Gereja Mereka Sementara Mereka Tidak Mengakui Dirinya adalah Batak?

26 Juni 2012   07:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Itulah yang jadi pertanyaan saya setelah saya membaca tulisan seorang Kompasianer dengan nama Bhtrg (yang belakangan saya tau bahwa dia adalah Tarigan). Silahkan baca tulisannya di sini.
Si Penulis tulisan tersebut menyangkal dirinya adalah Batak, dan menuduh bahwa kelompoknya sendiri yang sama-sama Karo adalah salah telah menerima diri mereka dianggap sebagai Batak, yaitu dengan diterimanya nama gereja mereka menjadi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Artinya, cukuplah nama gereja tersebut bernama Gereja Karo Protestan, atau nama lain tanpa embel-embel Batak dalam nama gereja tersebut. Inilah yang ditulis oleh penulis artikel tersebut:
Karo terkontaminasi oleh BATAK melalui gereja KARO Protestan yang berubah nama menjadi Gereja Batak Karo Protestan pada tahun 1941 dalam sebuah siding gereja. Pada saat itu ada gereja KARO yang tidak mau mengunakan istilah BATAK kedalam Gereja Karo sehingga mereka memisahkan diri dari GBKP dan membentuk gereja sendiri yang ada di Pematang Siantar saat ini.

Gereja Karo pecahan GBKP ada di Pematang Siantar, daerah Simalungun. Ini artinya telah terjadi kerancuan luar biasa. Kelompok yang tidak mau disebut sebagai Batak, lantas memisahkan diri dari Gereja Batak Karo Protestan dan membentuk gereja sendiri di Tanah Simalungun (di Simalungun, bukan di Karo). Itu artinya, si Karo tersebut pun tidak ingin mendirikan pusat gerejanya di Tanah Karo sendiri. Suatu keanehan tentunya.

Sebelum saya membaca tulisan tersebut, saya beranggapan bahwa aliran Kristen Protestan di Karo adalah sama dengan aliran Kristen Protestan di Toba, yaitu sama-sama Lutheran. Tetapi, masih menurut Si Penulis artikel tersebut, gereja di sana beraliran CALVINIST. Kembali saya kutip satu paragraf yang dia tulis seperti di bawah ini:
Artinya bahwa orang KARO pada awalnya telah terpecah ada yang menerima kontaminasi batak, dan ada yang tidak menerima kontaminasi itu. Orang Karo yang berabad-abad tidak pernah menyebutkan dirinya batak, namun tiba-tiba menjadi batak saat itu. Ada yang memperkirakan karena kalahnya Belanda terhadap jerman, sementara gereja aliran dari Jerman mempengaruhi gereja KARO saat itu untuk mengunakan kata batak, padahal gereja Karo adalah aliaran CALVIN sedangkan gereja Jerman adalah Lutheran.

Artinya, Si Penulis tersebut telah dengan jelas mengatakan bahwa gereja mereka berbeda dengan gereja kami. Tetapi, pada saat yang sama, Si Penulis tersebut sudah melakukan tuduhan yang tidak pada tempatnya, dengan menuduh sembarangan bahwa "karena kalahnya Belanda terhadap jerman, sementara gereja aliran dari Jerman mempengaruhi gereja KARO saat itu untuk mengunakan kata batak". Orang dungu pun tahu bahwa dengan berkobarnya Perang Dunia II (PD II) telah menyulitkan warga Jerman di Tanah Batak yang membuat banyak para Ephorus HKBP (Ephorus = Bishop) ditangkap karena dituduh sebagai mata-mata, dan akhirnya digantikan oleh Ephorus asli Batak Toba, dan berakhir pula hubungan "intim" antara orang Jerman dengan orang Batak Toba. Bukankah tuduhan yang dilakukan oleh Si Penulis tersebut adalah hinaan? Bukankah mengikuti logika berpikir konyol Si Penulis artikel tersebut, mestinya nama Toba yang terkontaminasi Karo? Apakah ini bukan lelucon terlucu yang pernah ada? Bukankah Batak Toba yang rugi atas Kekalahan Belanda atas Jerman tersebut? Batak Toba malah seperti anak yang kehilangan induk, sementara Karo malah seperti anak kesayangan bagi Belanda karena memang mereka adalah bentukan dan sapihan Belanda, sangat berbeda dengan Batak Toba yang berdiri dan terbentuk karena seorang Missioner Jerman bernama Dr. I.L. Nommensen. Atau dengan kata lain, Karo adalah antek dan kaki tangan Belanda, sementara Toba adalah anak yang memang dari awalnya mandiri karena dari awal Batak Toba dan kekristenannya berafiliasi dengan Jerman, bukan dengan Belanda.

Saya tidak juga paham apa yang ada di kepala Si Penulis tersebut, dan saya bahkan tidak paham apa maksudnya. Jelas dia telah melakukan tuduhan keji, terbukti dengan penggunaan kata KONTAMINASI secara MENCOLOK. Jika dia tidak suka disebut Batak, itu sah-sah saja. Hanya saja, ketika berulang kali saya meminta dia untuk mendefinisikan KARO itu apa, hingga detik ini dia tidak bisa memberikannya. Hal ini sangat penting untuk menguji klaimnya tersebut, atau jangan-jangan dialah yang sedang mabuk minum arak sehingga membuat tulisan yang racistic dan mengklaim bahwa dia adalah wakil Karo (terbukti dia tidak mengatakan tulisannya itu adalah pendapat pribadi).

Menurut Si Penulis artikel yang isi artikelnya sarat dengan merendahkan dan melecehkan tersebut, kata BATAK berasosiasi negatif. Dalam komentar-komentarnya, Si Penulis tersebut menyebutkan bahwa BATAK itu berasosiasi negatif, yaitu cannibalism. Hhmmm. Ini memang banyak saya baca di sejarah, mulai dari sejarah yang ditulis oleh Nicolo Di Conti hingga Stanford Rafless. Sayangnya, dari semua penulis tersebut, tidak satu pun yang pernah mengatakan MELIHAT SECARA LANGSUNG DENGAN MATA SENDIRI. Hal inilah yang membuat Professor Masashi Hirosue, professor dari Rikkyo University, Tokyo, tertawa geli, karena tidak seorang pun yang menulis sejarah tersbeut pernah menyaksikan acara cannibalism tersebut. Silahkan baca di sini untuk lebih jelas. But, it is fine. Itu hak dia (saya sebut dia, bukan mereka, karena belum tentu dia mewakili Karo yang lain) tidak mau disebut Batak. Hanya saja, sebagai seorang yang mengaku sebagai orang/suku yang katanya (sebagaimana si Penulis tesebut katakan) berperadaban tinggi, seharunya mereka mau menerima semua konsekuensi. Dan barangkali, saya akan menjadi orang yang pertama mengajukan tuntutan dan ganti rugi atas penggunaan atribut kebatakan, seperti dalam nama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).

Saya pribadi tidak merasa terhormat jika Karo adalah bagian dari Batak, dan juga tidak rugi jika mereka bukan bagian dari Batak. Batak (khususnya Toba) adalah puak yang telah dengan manis mengukir sejarahnya, dari local class menjadi global class. Saya kira, Batak Toba tidak akan mati tanpa mereka, dan pun tidak akan rugi apa-apa. Kami bahkan telah jadi buffer bagi mereka sehingga eksistensi mereka dianggap di negara ini. Saya tidak melihat ada pionir Karo di negera ini. Saya pun tidak melihat ada kontribusi signifikan mereka terhadap negara ini, kecuali masyarakat mengenal Brastagi dengan sayur, buah-buahan, dan minuman syrupnya. Selebihnya, silahkan Anda nilai sendiri..... Oleh sebab itu, pelepasan mereka dari identitas kebatakan, bukanlah musibah bagi saya, dan barangkali bagi semua orang Batak Toba.

Saya harap Si Penulis artikel tersebut mau menjelaskan maksudnya apa. Kepada Admin, saya harap Anda membaca artikelnya, apalagi Admin telah menempatkan tulisan tersebut sebagai HeadLine (HL).

Catatatan:
Sebagai tambahan, bahwa bahkan Dr. I.L. Nommensen (yang menyebarkan kekristenan di Tanah Batak, seorang berkewarganegaraan Jerman), pun tidak pernah menulis menemukan adanya praktek cannibalism di Tanah Batak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun