Untuk memahami konsep Ana Ngodho Mai, pertama-tama harus kita pahami tentang sistem perkawinan masyarakat Bajawa. Masyarakat Bajawa menganut sistem perkawinan matrilineal, yakni sistem perkawinan yang mengikuti garis keturunan ibu.
Ini berarti bahwa seorang lelaki yang mencintai seorang gadis harus masuk dan tinggal di rumah perempuan. Segala hal yang menyangkut hak dan kewajibannya diatur oleh paman atau orang tua dari pihak perempuan.
Relasi dasarnya adalah relasi paman-anak, tetapi bukan relasi ayah-anak. Yang dimaksud di sini adalah yang berhak mengatur dan mengambil keputusan adalah saudara (paman) dari pihak perempuan.
Kita hendaknya memahami konsep ini seturut cara pandang leluhur masyarakat Bajawa. Seorang pria adalah penentu kebijakan dan pengambil keputusan di rumah adat (sa'o) ibunya. Di rumah adat tersebut seorang pria memiliki hak atas rumah adat, karena kepemilikan yang diperoleh dari status sang ibu.
Pada saat yang sama, ketika dia hendak menikah berarti harus masuk ke rumah adat (sa'o) orang lain, yang nota bene memiliki pemiliknya. Dengannya berarti harus tunduk atas kebijakan dan keputusan pemilik rumah adat (sa'o) tersebut.
Status ini secara tradisional melekat dalam diri semua laki-laki Bajawa. Di satu sisi adalah pemilik rumah adat (sa'o) di rumah ibunya, dan di sisi lain harus tunduk pada pemilik rumah adat (sa'o) lain ketika dia menikah dengan wanita pujaan hatinya. Artinya bahwa seorang laki-laki Bajawa yang telah menikah adalah pemilik hak di rumah ibunya, tetapi tidak memiliki hak di rumah adat (sa'o) istrinya.
Nanti ketika sudah memiliki keturunan, hak itu akan menjadi milik dari anak-anaknya. Ini bukan karena status dari sang ayah, tetapi karena status sang ibu. Anak memiliki hak karena ibunya adalah pemilik hak atas rumah adat (sa'o) tersebut.
Dalam konteks masuk dan tinggalnya seorang laki-laki ke rumah atau keluarga perempuan, ini disebut dengan istilah di'i sa'o atau kawin masuk.Â
Di'i sa'o adalah sistem perkawinan matrilineal masyarakat Bajawa dalam mana seorang laki-laki masuk menjadi penghuni rumah pihak perempuan. Karena statusnya adalah "yang datang dan masuk" menjadi penghuni rumah pihak perempuan, maka disebut ana ngodho mai alias pendatang.
Di'i sa'o pertama-tama harus dipahami sebagai sarana perkawinan matrilineal, dalam mana seorang laki-laki datang dan masuk menjadi "pendukung atau penyokong" dalam rumah adat pihak perempuan.
Konsekuensi logis dari gagasan ini bahwa keluarga atau orang tua pihak perempuan memberikan tanah untuk membangun rumah dan sebagai sumber hidup di masa depan. Juga tidak menutup kemungkinan bila di kemudian hari mereka memiliki rumah dan tanah sendiri, tetapi statusnya tetap sebagai ana ngodho mai.
Dalam status yang ada, seorang laki-laki tetap menjadi pendukung dan penyokong bagi pihak istri. Dia memiliki hak dan kewajiban untuk mengolah tanah bagi kelangsungan hidup keluarganya. Juga dalam momen-momen tertentu harus memberikan kontribusi bagi beragam acara adat di pihak istri, pun bagi keluarga besarnya sendiri.
Di sini seorang ana ngodho mai tidak memiliki hak untuk mengambil kebijakan dan menentukan keputusan bagi kelangsungan hidup di rumah adat (sa'o) istri. Dia memiliki otonomi atas rumah tangganya sendiri, tetapi tidak otonom dalam hubungannya dengan relasi keluarga pihak istri.
Dia bisa memberikan pendapat sejauh diminta, tetapi tidak bisa mengambil keputusan apa pun dalam hubungannya dengan relasi kekerabatan dengan pihak istri.
Ini akan berbeda manakala seorang laki-laki berada dalam rumah adatnya sendiri. Di sana dia berperan sebagai pengambil kebijakan dan penentu keputusan dalam hubungannya dengan rumah adat ibu dan saudari-saudarinya.
Walaupun tidak memiliki hak atas tanah dan warisan, haknya yang paling mendasar adalah hak berbicara yakni hak untuk mengatur, menentukan kebijakan, dan mengambil keputusan.
Selain di'i sa'o, sistem perkawinan matrilineal masyarakat Ngada juga masih mengenal sistem perkawinan lain yang disebut pasa atau kawin keluar. Konsep dasarnya adalah belis.
Belis dalam masyarakat Bajawa dapat terjadi karena dua hal. Pertama, ketiadaan perempuan yang tinggal di rumah adat pihak laki-laki. Dan kedua, kesanggupan pihak laki-laki untuk membayar belis kepada pihak perempuan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Konsep sederhana dari pasa atau belis bahwa seorang perempuan datang dan masuk menjadi bagian dalam keluarga pihak laki-laki yang melekat pula hak dan kewajibannya. Keluarga pihak laki-laki akan memberikan tanah dan atau rumah kepada perempuan tersebut. Dengannya dia memiliki hak dan kewajiban tinggal di rumah pihak laki-laki dan mengerjakan kebun/ladang untuk kelangsungan hidup bersama suaminya.
Dari gagasan tentang sistem perkawinan di'i sa'o dan pasa, kita dapat menarik benang merah antara keduanya. Pertama, di'i sa'o adalah proses dalam mana seorang laki-laki masuk dan menjadi bagian dalam keluarga pihak perempuan, sedangkan pasa adalah sebaliknya, seorang perempuan masuk dan menjadi bagian dalam keluarga pihak laki-laki, yang masing-masing memiliki hak dan kewajibannya.
Kedua, laki-laki dalam sistem perkawinan di'i sa'o maupun perempuan dalam sistem perkawinan pasa sama-sama disebut ana ngodho mai alias pendatang. Dalam konsep ini, keduanya tidak memiliki hak untuk mengatur, menentukan kebijakan, dan mengambil keputusan.
Ketiga, baik dalam sistem perkawinan di'i sa'o maupun pasa sama-sama berperan sebagai pendukung atau penyokong; datang untuk mendukung atau menyokong (ngodho wi dho'o).
Dengannya menjadi jelas bahwa status ana ngodho mai dalam sistem perkawinan matrilineal masyarakat Bajawa adalah sebagai "pendatang", yang datang dan masuk untuk memberikan sokongan atau dukungan bagi keluarga; laki-laki dalam sistem perkawinan di'i sa'o dan perempuan dalam sistem perkawinan pasa.
Keduanya tidak memiliki hak untuk mengatur, menentukan kebijakan, dan mengambil keputusan, karena ketiganya adalah hak yang melekat dalam diri laki-laki (paman) sebagai pemilik rumah adat karena status dari sang ibu.
Namun demikian dalam perealisannya dewasa ini, ana ngodho mai kerap lupa diri untuk tidak mengatakan bahwa mereka tidak tahu diri, bahwasannya banyak yang bersikap dan bertindak di luar batasannya. Mereka tidak datang sebagai ana ngodo mai (pendatang), tetapi datang layaknya bos yang harus dihormati dan dilayani.
Di sisi lain, tidak sedikit juga ana ngodho mai yang lupa diri bahwa mereka tidak memiliki hak untuk mengatur, menentukan kebijakan, dan mengambil keputusan. Mereka bersikap seolah-olah sebagai pengatur, pengambil kebijakan, dan penentu keputusan. Mereka menuntut hak untuk didengar tetapi lupa akan statusnya sebagai pendatang alias ana ngodho mai.
Pada kenyataan yang demikian, biasanya kehadiran mereka menjadi perusak relasi keluarga. Keluarga yang pada awalnya harmonis, tetapi perlahan hancur berantakan. Dengannya gagasan ini memberi penyadaran tentang pentingnya status untuk menentukan peran yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang mengetahui status, dengannya akan bersikap dan berperilaku apa adanya. Atau dalam bahasa lain hendak dikatakan tidak akan melakoni peran yang menjadi peran dari pelakon lain.
Kiranya masyarakat Bajawa memahami sistem perkawinan ini demi tatanan adat dan sosial yang langgeng dan harmoni. Kiranya kita masing-masing tidak menjadi perusak tatanan adat dan sosial, tetapi lebih dari itu melakoni peran kita masing-masing sebagaimana mestinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI