Para pembaca harus memahami bahwa masyarakat Bajawa menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni sistem kekerabatan berdasar garis keturunan ibu. Dalam konteks ini, masyarakat Bajawa lebih lanjut mengenal terminologi ana ngodho mai (pendatang) dan ana mori sa'o (pemilik, yang memiliki hak atas rumah adat dan warisan), serta ana dheko lega ema (anak yang mengikuti garis keturunan ayah) dan ana weta (anak saudari).
Ana weta (anak saudari) adalah mori sa'o, yakni pemilik atau yang memiliki hak dalam garis keturunan ibu, yang menyangkut hak berbicara, hak memutuskan, dan hak atas warisan. Konteks yang hendak kita dalami di sini adalah ana mori sa'o (pemilik, yang memiliki hak) dalam hubungannya dengan ana weta (anak saudari). Dan di sini, kedudukan seorang paman menjadi sentralnya, karena seorang paman memiliki status sekaligus tanggung jawab dalam hubungannya dengan ana weta sekaligus sebagai mori sa'o (pemilik rumah adat).
Paman adalah panggilan kepada seorang laki-laki yang dihormati. Masyarakat Bajawa lebih jamak menyebutnya "om". Bahasa lokal menyebutnya pame. Kata pame juga sering disandingkan dengan kata ema (bapak/ayah) sehingga menjadi ema pame, yang berarti paman yang berperan sebagai seorang ayah, baik dalam arti biologis pun dalam arti sosial-kultural sebagai pelindung dan pengayom.
Sebutan ema pame hanya disematkan kepada saudara-saudara ibu atau saudara dari garis keturunan ibu saja. Sedangkan saudara-saudara yang lainnya disebut pame (paman/om) saja. Ini penting disebutkan karena melekat dengan status/kedudukan dan tanggung jawabnya. Ema pame adalah status sebagai pemilik hak atas rumah adat dan warisan, sekaligus sebagai pelindung dan pengayom keluarga dalam masyarakat Bajawa.
Dalam masyarakat Bajawa, seorang paman/om memiliki peran sentral. Mereka adalah figur yang menasihati dan membimbing kehidupan keluarga. Ini melekat dalam urusan-urusan adat dan urusan-urusan sosial sekaligus. Tugas mereka adalah menjaga kelestarian tradisi leluhur agar tidak salah kaprah atau menyimpang dari tradisi yang sebenarnya.
Secara ringkas peran seorang paman/om dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, sebagai mediator yang memediasi atau menjembatani segala persoalan keluarga, baik dalam skala kecil maupun besar. Biasanya segala persoalan akan menemukan solusinya jika seorang paman/om telah memutuskannya melalui pertimbangan-pertimbangan yang adil dan bijak.
Dalam konteks tidak ditemukannya solusi bersama, seorang paman/om adalah pengambil keputusan, yang suaranya wajib didengar dan keputusannya wajib dilaksanakan. Dan pertimbangan utamanya adalah demi kebaikan bersama dalam keluarga.
Kedua, sebagai edukator. Ini bertalian dengan tugas seorang paman/om untuk mendidik dan membina seluruh anggota keluarga. Tugas ini berlangsung dalam semua situasi, dan menjadi urgen dalam situasi-situasi yang tidak diharapkan terjadi. Yang dimaksud adalah bila terjadi hal-hal yang menyebabkan disharmoni dalam keluarga. Dalam konteks ini, tugas seorang paman adalah mengingatkan dan membimbing semua anggota keluarga untuk kembali menciptakan harmoni bersama.
Ketiga, fungsi kultural. Fungsi kultural seorang paman/om akan tampak dalam acara-acara adat. Yang paling jelas terlihat adalah adat perkawinan. Dalam konteks ini hak orang tua telah dimandatkan secara utuh kepada paman/om. Yang berhak berbicara dan memutuskan adalah paman/om dalam keluarga, tentu setelah melalui diskusi dan pembicaraan dengan orang tua yang anaknya akan menjalani adat perkawinan.
Dan keempat, fungsi sosial. Fungsi sosial seorang paman/om akan terlihat ketika terjadi masalah dalam keluarga. Seorang paman/om akan hadir dalam kewibawaannya untuk memberikan kedamaian dan kesejukan. Dalam konteks ini, seorang paman/om yang akan duduk dan berbicara untuk mewujudkan kedamaian bersama.