Satu minggu sebelum keberangkatan kami ke Mesir, terhitung ada 16 orang yang sudah terdaftar pasti untuk berangkat. Pada hari keberangkatan, akhirnya kami mengetahui, 3 peserta mengundurkan diri setelah mempertimbangkan meningkatnya konflik Gaza. Akhirnya dalam rombongan kami memang hanya 13 orang saja yang jadi berangkat sambil terus berharap konflik Gaza segera cepat berlalu, apalagi sudah menjelang hari raya Idul Fitri.
Dokumen Pribadi - Via Dolorosa yg sepi turis, Kota tua Yerusalem
Ketika kami memasuki Israel melalui Taba Border (Mesir) tanggal 30 Juli 2014, konflik Gaza sudah memasuki minggu ke empat, walaupun ada gencatan senjata beberapa waktu tapi secara keseluruhan konflik belum berakhir juga. US Federal Aviation Administration (FAA) dan European Aviation Safety Agency (EASA) belum ada seminggu sebelumnya, akhirnya mencabut larangan terbang ke Israel (tujuan Bandara Ben Gurion Tel Aviv) setelah selama beberapa hari menerapkan larangan terbang yang disebabkan satu kejadian dimana roket yang ditembakkan dari jalur Gaza mendarat sekitar satu mil dari Ben Gurion.
Kami memang masuk ke Israel melalui jalur darat Taba Border/Crossing, perbatasan langsung antara Mesir dan Israel. Pemandangan teluk Aqaba yang indah memang sangat menarik di tengah antrian kami masuk ke imigrasi Israel. Sisi imigrasi Israel berada di wilayah Eilat. Gedung imigrasinya tidak besar/luas. Bagi yang pernah pulang-pergi ke Singapura melalui Pelabuhan Batam Center di Pulau Batam pasti akan setuju, bahkan Pelabuhan Ferry Batam Center lebih besar daripada gedung imigrasi tempat arus keluar masuk penduduk mancanegara di Eilat ini. Pemeriksaan terhadap pemegang paspor dan barang bawaan termasuk ketat, beberapa di antara kami terkena sampling untuk membuka koper. Pemegang paspor yang koper atau tas tangannya terkena pemeriksaan biasanya akan mendapat label khusus di tempel di bagian luar paspor.
Kalau dulu aku memiliki boss yang sering keluar-masuk Singapura melalui HarbourFront pernah berkata bahwa petugas imigrasi Singapura di HarbourFront adalah petugas Imigrasi yang paling tidak ada pekerjaan dengan cara mereka bersikap terhadap pemegang paspor yang masuk melalui imigrasi HarbourFront dan “the worst” yang pernah ia jumpai dibanding petugas imigrasi di beberapa negara yang pernah ia kunjungi, maka seharusnya beliau ini mampir ke imigrasi Eilat untuk merasakan repotnya urusan imigrasi. Memang mengantri di imigrasi Eilat sangat mengingatkanku dengan petugas imigrasi di HarbourFront Singapura. Sedikit perbedaan adalah kalau di Eilat, seluruh barang akan melalui jalur X-Ray dan pemeriksaan bagasi sebelum pemegang paspor ke loket utk cap/label di paspor. Jalur antrian menuju pemeriksaan X-Ray di imigrasi Eilat ini juga tidak besar/luas. Bayangkan kalau ratusan pemegang paspor yang masuk, pasti bisa lama mengantri. Untung pada saat kami tiba, hanya rombongan kami sebanyak 13 orang dan satu lagi rombongan kecil keluarga, entah dari Mesir atau Arab Israel mengantri di belakang diriku. Menurut tour leader dalam beberapa kasus, walaupun dirinya sering masuk melalui Taba, masih sering juga dirinya ditahan untuk diwawancara oleh petugas imigrasi di Eilat. Untung saat itu cuma kopernya saja yang harus dibuka bersama satu koper rekan perjalanan lainnya. Wah, kalau tidak, bisa lama juga untuk urusan koper seperti itu.
Sehari sebelum berangkat ke Mesir, memang sempat kubaca bagaimana terpukulnya industri pariwisata di Israel akibat konflik Gaza. Hampir sepertiga dari pengunjung dari luar negeri yang diharapkan datang ke Israel, akhirnya membatalkan kunjungan. Liburan musim panas di Israel dilaporkan sangat menurun dari segi jumlah wisatawan luar negeri yang datang. Perjalanan wisata ziarah biasanya melibatkan dua pertiga dari jumlah pengunjung ke lokasi relijius di Israel dan hampir 95% daerah kunjungan berada dalam wilayah Palestina. Wilayah West Bank yang berada dalam administrasi Mahmoud Abbas juga terkena imbas, semakin sedikit saja wisatawan yang berkunjung ke Betlehem yang berada di wilayah Palestina. Mulai dari supir taxi, pedagang cinderamata, pengusaha hotel dan restoran, termasuk di wilayah Palestina yang biasanya ramai wisatawan mengeluh atas kondisi ini.
Hotel tempat kami menginap selama 2 malam di wilayah Bayt Jala (Palestina) hanya menampung rombongan kami saja selama 2 malam itu. Tidak ada tamu lain yang menginap. Setiap malam kami menonton berita lokal isinya didominasi oleh konflik Gaza.Selain industri pariwisata yang terpukul karena konflik Gaza, satu catatan lain yang mungkin tidak luput dari mata wisatawan ketika mengunjungi Israel, terutama Yerusalem tentu saja hal yang terkait keramahan dan keamanan, istilah yang digunakan oleh tour leader kami adalah keramahan ala militer. Walaupun kami masuk ke Israel dalam situasi konflik saat itu, keamanan kami sebagai wisatawan tetap terjamin.