Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Data Warga Jadi Komoditas, Menyikapi Negosiasi Indonesia - AS

24 Juli 2025   14:26 Diperbarui: 24 Juli 2025   14:26 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah negosiasi perjanjian perdagangan timbal balik antara Indonesia dan Amerika Serikat, salah satu poin yang mencuat dan menimbulkan kegelisahan publik adalah soal kemungkinan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke pihak Amerika. Dalam dokumen bersama yang dirilis kedua negara, klausul ini menjadi bagian dari upaya memperlancar arus perdagangan digital. Namun, konsekuensinya jauh melampaui ranah ekonomi.

Presiden Prabowo Subianto disebut masih mendiskusikan poin ini dan berjanji akan melanjutkan negosiasi dengan penuh kehati-hatian. Namun, suara publik sudah lebih dahulu bergema---dari ruang media sosial hingga forum-forum kebijakan. Kekhawatiran tidak datang tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berkali-kali mengalami kebocoran data besar-besaran: dari layanan kesehatan, fintech, hingga platform digital pemerintah. Kasus-kasus ini membuka luka kolektif tentang lemahnya sistem pengamanan informasi di berbagai lembaga nasional.

Di era digital saat ini, data pribadi adalah harta yang tak ternilai. Ia tidak hanya mencerminkan identitas individu, tetapi juga memuat dimensi ekonomi, sosial, bahkan politik yang sangat strategis. Sayangnya, harta ini juga sangat rentan. Sekali bocor, ia bisa digunakan untuk apa saja---dari kejahatan siber hingga rekayasa sosial dan intervensi asing.

Secara umum, data pribadi mencakup informasi yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengidentifikasi seseorang. Ini termasuk nama, alamat, nomor KTP, nomor telepon, email, hingga data biometrik seperti sidik jari dan pengenalan wajah. Bahkan, data yang tampak sepele seperti riwayat pencarian, lokasi geografis, dan kebiasaan transaksi digital kini menjadi bagian penting dari jejak digital seseorang.

Contoh sederhana: pola belanja online seseorang dapat mengungkap tingkat pendapatan, gaya hidup, hingga kemungkinan preferensi politik. Atau melalui transaksi QRIS yang kita lakukan setiap hari, sistem dapat merekam waktu, lokasi, nominal, serta tujuan pengeluaran. Semua ini menciptakan gambaran yang sangat personal dan detail tentang kehidupan individu.

Perlindungan data pribadi bukan hanya soal privasi, tetapi juga tentang keamanan dan kedaulatan. Di tangan yang salah, data pribadi bisa berubah menjadi senjata. Ia bisa digunakan untuk penipuan, pencurian identitas, pemerasan, hingga manipulasi psikologis. Dalam skala nasional, kebocoran data bisa dimanfaatkan untuk keperluan intelijen, analisis demografi, atau bahkan pengaruh politik oleh negara lain.

Inilah mengapa negara-negara maju seperti anggota Uni Eropa memberlakukan regulasi ketat seperti GDPR (General Data Protection Regulation), yang memberi kontrol penuh kepada warga atas data pribadinya, serta menetapkan sanksi tegas bagi pelanggaran. Indonesia sendiri telah melangkah ke arah itu melalui pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang menjadi pijakan hukum utama dalam menjaga hak warga negara di ranah digital.

Negosiasi perdagangan sering kali menyertakan klausul-klausul teknis yang tampak netral di atas kertas, tetapi dapat membawa dampak besar di kemudian hari. Dalam konteks kerja sama Indonesia--AS, permintaan agar data pribadi warga Indonesia dapat diakses atau diproses oleh entitas asing harus ditinjau dengan sangat hati-hati.

Apakah mekanisme pengawasan dan kontrol data sudah siap? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran? Bagaimana kedaulatan digital Indonesia dijaga ketika data warganya berada di luar yurisdiksi nasional?

Negara harus memastikan bahwa prinsip consent (persetujuan), transparency (keterbukaan), dan data sovereignty (kedaulatan data) tetap dipegang teguh dalam setiap kerja sama internasional. Data pribadi adalah hak asasi, bukan komoditas dagang yang bisa dipertukarkan begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun