Praktik dengan pendekatan teori ini tidak cukup mujarab jika memahami situasi dan fakta yang terjadi di publik. Dampak ini terjadi karena krisis yang terjadi, menurut Timothy Coombs (pencetus teori komunikasi krisis situasional) adalah akibat kelalaian atau kesalahan dari perusahaan. Coombs menyebutnya sebagai preventable cluster. Bukan victim cluster (perusahaan sebagai korban) maupun accidental cluster (akibat kesalahan tidak disengaja). Ditambah secara jelas (berdasarkan temuan Kejagung) kesalahan itu berupa kejahatan luar biasa. Bahkan durasi kejahatannya pun berlangsung lama.
Coombs mengatakan, komunikasi pada preventable cluster tidak cukup hanya dengan meminta maaf. Tetapi juga janji untuk melakukan perbaikan. Mengacu teori ini, agaknya belum ada statement dari Pertamina melakukan perbaikan dengan langkah-langkah jelasnya.
Oleh karena itu memang terjadi blunder dan ketidaktentuan arah komunikasi yang diharapkan akan mengurangi gejolak di tengah masyarakat.
Luka pada konsumen dan terutama masyarakat patuh yang tak mau memakan subsidi bahan bakar memerlukan penyembuhan serius.
Kalau mencoba pendekatan yang ditawarkan teori Atribution mestinya akan terfoto bagaimana tingkat publik dalam mencari penyebab krisis yang dialami Pertamina (terutama Pertamina Patra Niaga). Buktinya, isu yang beredar (termasuk konsumsi berita dari media) telah merebak sampai ke faktor penyebab, siapa penyebab, frekuensi kecurangan yang dianggap terus berulang, bahkan pun beredar "liga korupsi".
Koheren dari pemahaman "kemarahan" publik dengan pilihan praktik komunikasi tepat yang dipilih akan menentukan cepat atau lambatnya penyelesaian krisis Pertamina Patra Niaga. Dan, masih ada jurus ampuhnya. Mau tahu? Ikuti tulisan saya selanjutnya. (*) Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI