Bagian keduaÂ
Asumsi Dasar Epistemologi Fenomenologi dan Hermeneutika
Sebelum pembahasan lebih lanjut perlu mengurai paradigma terlebih dahulu sebagai unsur pokok di dalam epistemologi. Paradigma sendiri pertamakali diperkenalkan oleh Thomas Khun dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1970), dimana Kuhn berpandangan atas perubahan ilmu pengetahuan didasari oleh perubahan paradigma dan cara memandang suatu persoalan. Paradigma dalam ilmu sosial-budaya sebagaimana dikutip dalam Ahimsa Putra (2009) disebut sebagai seperangkat konsep pengetahuan, cara berfikir atau cara pandang (perspective), kerangka teoretis (theoretical framework), kerangka konseptual (theoretical conceptual), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoretis (theoretical orientation), atau pendekatan (approach).
Saidi (2015) mendifinisikan paradigma sebagai konstruksi manusia, di dalamnya terdapat tiga elemen yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi.Â
Ontologi berbicara tentang hakikat realitas, epistemologi berbicara tentang hakikat ilmu pengetahuan, dan metodologi berbicara cara memperoleh pengetahuan. Sehingga paradigma sendiri bersumber dari epistemologi berbeda dan bisa saja dalam satu paradigma dengan satu epistemologi atau satu paradigma satu epistemologi dan bahkan kemungkinan lain dapat terjadi perubahan.Â
Misalnya epistemologi positivisme menurunkan paradigma evolusionisme, fungsionalisme struktural, analisis variabel dan paradigma cross-cultural. Epistemologi historisism menurunkan paradigma diffusionisme, partikularisme, historis dan paradigma perubahan. Epistemologi fenomenologi menurunkan paradigma fenomenologi (etnosains), etnometodologi dan fenomenologi sosial (konstruksionis).Â
Epistemologi hermeneutik menurunkan paradigma kepribadian kebudayaan dan tafsiriah, epistemologi semiotic menurunkan paradigma strukturalisme Le'vi-Strauss dan epistemologi materialisme menurunkan paradigma materialisme historis dan materialisme budaya sementara epistemologi post-modern menurunkan paradigma post-modern (Saidi, 2015).
Dalam diskursus pada sebuah epistemology baik antara paradigma yang satu dengan lainnya tidak menutut kemungkinan akan melahirkan gagasan baru atau paradigma baru.Â
Terlebih diskursus antar epistemologi yang satu dengan yang lainnya dalam memandang suatu gejala atau fenomena sosial maka akan melahirkan paradigma baru. Dari paradigma baru tersebut akan menjadi kajian kritis untuk dikaji lebih dalam baik secara teoritis maupun metodologis.Â
Menurut hemat Ahimsa-Putra (2009; 3) bahwa dalam memahami paradigma tidak hanya sebatas mendefinisikannya namun yang terpenting adalah penentuan unsur-unsur terkait di dalam paradigma. Ia menyederhanakannya menjadi sebuah "Seperangkat konsep" sebagai gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsinya dalam kerangka pemikiran dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda.Â