Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Conclave" Nyatanya Sangat Jauh dari Konklaf Sejati

22 April 2025   16:12 Diperbarui: 22 April 2025   16:12 3786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan film "Conclave" yang memasukkan ideologi feminis radikal sebagai anti-tesis hierarki Gereja Katolik (The Harvard Crimson)

Film ini juga berulang kali menyarankan agar Gereja membuang nilai-nilai tradisional yang "kuno", terutama mengenai seksualitas dan gender, agar tetap relevan, sehingga merusak doktrin. Puncak pengungkapan Paus interseks, yang pemilihannya dibiarkan sah, berfungsi sebagai simbol utama dari revolusi yang diinginkan ini, mempromosikan ideologi gender kontemporer yang bertentangan langsung dengan ajaran Gereja tentang antropologi dan imamat khusus laki-laki. Film ini juga terlibat dalam mengkritik hierarki. Para kardinal sebagian besar ditampilkan sebagai ambisius dan sinis, secara implisit mendelegitimasi struktur Gereja. Biarawati, khususnya Suster Agnes, diposisikan sebagai figur moral superior yang mengungkap korupsi laki-laki, secara halus memajukan kritik feminis. Terakhir, film ini secara aktif mempromosikan relativisme. Penghargaan terhadap keraguan, pembenaran pelanggaran aturan, dan pembingkaian posisi moral tradisional sebagai "penuh kebencian" semuanya berkontribusi pada atmosfer relativisme moral, merusak penegasan Gereja pada kebenaran moral objektif. Kritikus Katolik yang berpegang teguh pada ajaran Gereja dengan tepat mengutuk film ini sebagai "jelas buruk," "kurang riset," "penghinaan terhadap iman," propaganda anti-Katolik, dan mempromosikan pandangan iman yang terdistorsi.

Pergulatan Abadi Gereja Melawan Semangat Zaman

"Conclave", dengan penggambaran prosedur sakral yang terdistorsi dan agenda progresifnya yang terselubung tipis, berfungsi sebagai sebuah artefak budaya kontemporer yang signifikan. Ia menjadi ilustrasi kuat dari perjuangan yang lebih luas dan terus-menerus berlangsung: upaya gigih oleh berbagai ideologi sekuler untuk menyusup, memengaruhi, dan pada akhirnya membentuk kembali Gereja Katolik agar sesuai dengan semangat zaman yang terus berubah. Film ini tidak hanya mencerminkan, tetapi juga secara aktif mempromosikan, tekanan intens yang dihadapi Gereja saat ini untuk meninggalkan identitas uniknya yang transenden dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai ataupun norma-norma sekuler kontemporer. Namun, di tengah gempuran tekanan semacam itu, Gereja Katolik memiliki benteng pertahanan yang diberikan Tuhan: Tradisi Suci, Magisterium (otoritas mengajar), dan pelayanan Petrus (Kepausan). Tradisi merupakan transmisi hidup dari deposit iman yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul. Magisterium, dipandu Roh Kudus, memastikan interpretasi otentik Tradisi ini. Primasi Paus dan karisma infalibilitas menjamin bahwa Gereja tidak akan secara definitif mengajarkan kesalahan dalam hal iman dan moral, memberikan jangkar kepastian. Hukum Gereja menyediakan struktur yang diperlukan untuk kehidupan Gereja, memastikan ketertiban dan kesetiaan. Narasi "Conclave" secara implisit justru menyerang  struktur-struktur penopang ini, menggambarkannya sebagai hambatan atau bahkan alat korupsi.

Sejarah Gereja sendiri menyediakan berbagai kisah dengan tantangan yang coba digambarkan oleh film ini. Selama berabad-abad, Gereja menghadapi campur tangan politik eksternal dalam pemilihan Paus, terutama melalui hak veto (Jus exclusivae) yang diklaim oleh raja-raja Katolik tertentu. Kekuatan ini bahkan masih digunakan pada konklaf tahun 1903, yang secara tidak sengaja membuka jalan bagi terpilihnya Paus Santo Pius X, yang kemudian secara definitif menghapuskan hak veto tersebut. Sementara campur tangan eksternal semacam itu kini sebagian besar telah lenyap, "Conclave" justru menyoroti ancaman internal yang lebih berbahaya: infiltrasi ideologi sekuler yang berusaha untuk menumbangkan Gereja dari dalam. Tantangan ideologis internal ini menemukan anteseden historisnya yang paling jelas dalam krisis Modernisme pada awal abad ke-20. Pesan inti film ini melalui peninggian keraguan subjektif, tuntutan untuk beradaptasi dengan modernitas sekuler, kritik terhadap tradisi dan otoritas secara langsung mencerminkan prinsip-prinsip Modernisme, yang oleh Santo Pius X dikecam keras sebagai "sintesis dari semua bidah". "Conclave" dapat dipandang sebagai ekspresi sinematik abad ke-21 dari dorongan yang sama untuk mencairkan doktrin dan menyesuaikan Gereja dengan filosofi duniawi.

Ancaman ini bukanlah sekadar persoalan teoretis. Jalan Sinodal Jerman yang kontroversial memberikan contoh nyata tentang bagaimana tekanan-tekanan ini bekerja dalam Gereja masa kini. Didorong seolah-olah oleh krisis pelecehan, proses ini telah mendorong perubahan radikal yang mencerminkan agenda film: pemberkatan pasangan sesama jenis, tantangan terhadap selibat imamat dan imamat khusus laki-laki, dan usulan badan pemerintahan baru yang mengancam struktur hierarkis Gereja. Usulan-usulan ini, yang berakar pada ideologi sekuler daripada Tradisi Katolik, telah menimbulkan keprihatinan mendalam akan persatuan Gereja. Pengalaman Jerman ini mendemonstrasikan secara nyata bahaya-bahaya konkret dari arus ideologis yang dirayakan oleh "Conclave". Film ini maupun Jalan Sinodal mencontohkan taktik berulang: memanfaatkan momen krisis bukan untuk reformasi otentik, tetapi untuk memajukan agenda revolusioner yang asing bagi identitas Katolik. Pertempuran untuk jiwa Gereja bersifat abadi. Dari bidah kuno hingga Modernisme, deposit iman selalu menghadapi tantangan dari ideologi yang berusaha menyesuaikannya dengan standar duniawi. "Conclave" hanyalah salvo budaya terbaru dalam perjuangan ini. Oleh karena itu, umat Katolik harus tetap waspada, membedakan perkembangan otentik yang dibimbing Roh Kudus dari panggilan ideologi sekuler. Mempertahankan kebenaran Gereja yang tidak berubah, tradisi sucinya, dan struktur hierarkisnya bukanlah kekakuan, tetapi kesetiaan kepada Kristus. Kemajuan sejati bagi Gereja terletak bukan pada penyerahan diri kepada semangat zaman, tetapi pada pertobatan yang semakin mendalam kepada Injil dan kepatuhan pada kebenaran abadi. Benteng iman harus dijaga dengan keyakinan yang bersumber dari Kristus, seperti yang disampaikan pada Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan yang sempurna."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun