Situasi Timur Tengah kembali memanas dengan adanya konflik antara Hamas dengan pemerintah Israel di Gaza. Di tengah sorotan global terhadap konflik tersebut, tensi antara Iran dan Arab Saudi, yang bagaikan perang dingin, juga tak boleh luput dari perhatian. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa perdamaian antara kedua raksasa regional ini mungkin menjadi kunci, bukan hanya untuk meredakan ketegangan di Tanah Suci, situs penting bagi agama-agama Abrahamik, tetapi juga untuk mewujudkan perdamaian di seluruh Timur Tengah. Dengan kata lain, hubungan rumit antara Iran dan Arab Saudi merupakan pilar utama yang menentukan lanskap politik modern di Timur Tengah. Persaingan kedua negara bukan sekadar fenomena baru-baru ini, melainkan konflik mendalam yang telah berlangsung berabad-abad, didorong oleh perbedaan sektarian, benturan ideologis, dan perjuangan tanpa henti demi supremasi regional. Amerika Serikat (AS), Rusia, dan kekuatan global lainnya -- tertarik oleh kombinasi strategi geopolitik, kepentingan ekonomi, dan keberpihakan ideologis -- telah secara kritis juga membentuk dinamika ini, semakin memperkuat perpecahan dan memperumit jalan menuju resolusi.
Kisah Sejarah: Sektarianisme dan Ambisi Geopolitik
Untuk memahami sepenuhnya akar konflik antara Iran dan Arab Saudi, kita harus menyelidiki sejarah awal Islam yang menjadi agama terbesar sekaligus basis ideologi di kedua negara. Wafatnya Nabi Muhammad pada 632 memicu perpecahan dalam agama Islam: denominasi Sunni, yang mendukung kekhalifahan yang dipilih berdasarkan konsensus, dan Syiah, yang percaya bahwa pemimpin yang sah haruslah keturunan Nabi tersebut. Iran, dengan penduduk yang mayoritas Syiah, dan Arab Saudi yang didominasi oleh Sunni, telah lama bersaing memperebutkan posisi sebagai kekuatan Islam terkemuka dan melanjutkan gagasan penting tentang otoritas politik-agama, terutama sejak runtuhnya  Kekhalifahan Utsmaniyah yang juga menjadi bagian integral dari Kekaisaran Ottoman pada 1924. Perpecahan sektarian berusia berabad-abad ini pun berulang kali berkobar menjadi konflik, membentuk aliansi dan persaingan di seluruh wilayah. Selain dimensi agama, terdapat pula perebutan kekuasaan yang lahir dari ambisi. Arab Saudi, penjaga kota suci Mekah dan Madinah yang menjadi dua tempat terpenting dalam agama Islam, mengklaim kepemimpinan dunia Muslim Sunni. Iran, didorong oleh semangat revolusioner yang mengubah monarki menjadi republik teokratis, berupaya mengekspor visinya dan menantang tatanan regional yang ada. Visi-visi yang bersaing tentang masa depan Timur Tengah ini akhirnya menempatkan Iran dan Arab Saudi pada jalur bentrokan hingga saat ini.
Perang Dingin: Negara Adikuasa dan Pertempuran Proksi
Perang Dingin antara 1945 hingga 1991 juga secara dramatis menonjolkan persaingan Iran-Arab Saudi. AS, memperjuangkan doktrin anti-komunisnya, menemukan sekutu ideal dalam monarki-monarki konservatif di Semenanjung Arab, yang dipimpin oleh Arab Saudi. Iran, setelah jatuhnya Shah yang pro-Barat pada 1979, menjadi sangat bertentangan dengan kepentingan AS. Kekhawatiran atas dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok revolusioner memicu keberpihakan AS dengan negara-negara Arab. Uni Soviet, yang selalu ingin melawan pengaruh AS, melihat peluang dari dampak revolusi yang terjadi di Iran. Soviet menawarkan dukungan kepada Iran dan gerakan kiri di kawasan itu, terkadang meskipun terdapat perbedaan ideologis di antara kedua negara. Akibatnya, konflik regional menjadi medan pertempuran proksi antara AS dan Uni Soviet. Perang Iran-Irak yang menghancurkan (1980-1988) menjadi tipikal dari dinamika ini, dengan Arab Saudi dan AS secara tegas mendukung Irak, sementara Soviet memberikan dukungan kepada Iran. Hal ini menjadi dasar bagi puluhan tahun ketidakpercayaan dan perjuangan proksi antara rival-rival regional ini. Disintegrasi Uni Soviet pada 1991 tidak secara otomatis membawa perdamaian yang diharapkan banyak orang di Timur Tengah. Program nuklir Iran, sumber kekhawatiran mendalam bagi Arab Saudi, Israel, dan negara-negara Barat, menjadi isu yang sangat menentukan. Persepsi bahwa Iran menginginkan senjata nuklir memicu ketakutan dan mengeraskan sikap anti-Iran dari Arab Saudi, semakin mengeskalasi ketegangan di antara keduanya. Sanksi ekonomi yang dikenakan pada Iran di saat yang bersamaan dapat melumpuhkan perekonomiannya, tetapi juga semakin memperkuat tekad kepemimpinannya untuk melawan tekanan asing, terutama Arab Saudi yang dianggap sebagai antek Barat.
Lebih lanjut, invasi yang dipimpin oleh AS ke Irak pada tahun 2003 memiliki dampak jangka panjang yang mendalam pada keseimbangan kekuatan regional. Penggulingan Saddam Hussein, seorang Sunni yang bertindak sebagai benteng melawan Iran, menciptakan kekosongan kekuasaan. Iran dengan cekatan mengisi kekosongan ini, memperluas pengaruhnya dalam politik Irak dan mengembangkan milisi Syiah. Arab Saudi, melihat ini sebagai perluasan kekuatan Iran yang mengkhawatirkan, mengintensifkan manuver regionalnya sendiri. Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab pada akhir 2010 hingga 2012 membawa kompleksitas tambahan lainnya. Sementara Iran melihat potensi gerakan anti-otoriter yang lebih luas, Arab Saudi khawatir pemberontakan tersebut akan merusak posisinya sendiri dan menyebarkan ketidakstabilan yang lebih luas. Di Suriah, perpecahan sektarian semakin tajam saat perang saudara yang brutal berubah menjadi konflik proksi yang berdarah. Iran, mendukung pemerintah Assad yang terkepung, mendapati dirinya berseberangan langsung dengan pasukan pemberontak yang didukung Arab Saudi.
AS sebagai Mitra yang Ambivalen dan Kembalinya Rusia: Penyelarasan Pragmatis
AS, mitra lama dan utama Arab Saudi, mempertahankan sikap yang rumit terhadap Iran. Kepentingan strategis, terutama mengamankan pasokan minyak dan melawan terorisme, sering memandu kebijakan AS. Munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang dianggap sebagai ancaman bersama, sempat memunculkan kerjasama diam-diam antara AS dan Iran. Akan tetapi, perbedaan mendasar tetap ada, dengan dukungan Iran untuk Hizbullah dan kelompok militan lainnya tetap menjadi titik pertikaian. Kesepakatan Nuklir Iran atau yang dikenal Joint Comprehensive Plan of Action pada tahun 2015 mencerminkan perubahan haluan dalam kebijakan AS, berupaya mengekang ambisi nuklir Iran melalui inspeksi dan keringanan sanksi. Arab Saudi, yang sangat tidak percaya dengan niat Iran, sangat menentang kesepakatan itu. Penarikan yang dilakukan oleh Presiden AS, Donald J. Trump selanjutnya pada tahun 2018 dan penerapan kembali sanksi yang melumpuhkan ekonomi Iran menandai kembalinya ke dinamika AS-Iran yang lebih antagonis, yang dapat menyenangkan Arab Saudi tetapi semakin mendestabilisasi kawasan.
Di sisi lain, kembalinya Rusia sebagai kekuatan di Timur Tengah setelah pecahnya Uni Soviet, memanfaatkan persepsi salah langkah AS dan berkurangnya keinginan AS untuk intervensi langsung, yang akhirnya memiliki dampak besar dan dapat dirasakan hingga sekarang. Dukungan kuat Rusia terhadap rezim Assad di Suriah selaras dengan kepentingan Iran, menciptakan penyeimbang terhadap poros AS-Arab Saudi. Konvergensi strategis di Suriah ini mengarah pada kerja sama yang lebih besar antara Rusia dan Iran, hubungan yang lebih ditentukan oleh keuntungan bersama dari keduanya daripada kesamaan ideologi. Peran Rusia di kawasan ini menambah lapisan kompleksitas tambahan, menyoroti sifat aliansi yang berubah dan realitas pragmatis yang mendorong kerja sama di Timur Tengah pasca-Perang Dingin.
Garis Patahan Regional: Yaman, Lebanon, dan Perebutan Pengaruh