Seperti Icarus, yang terbang terlalu dekat dengan matahari dengan sayap yang terbuat dari lilin dan bulu, Boeing melonjak ke puncak kejayaan penerbangan tetapi akhirnya anjlok secara spektakuler ke dasar bumi (literally).
Puluhan tahun kecakapan teknik dan semangat perintis seakan tereduksi menjadi catatan kaki dalam kisah peringatan tentang keserakahan, kegagalan regulasi, dan konsekuensi mengerikan dari mengutamakan keuntungan di atas segalanya.
Boeing: Dari Pionir Penerbangan hingga Raksasa Korporasi
Sejarah Boeing selama satu abad tidak dapat dipisahkan dari kisah penerbangan itu sendiri. Didirikan pada tahun 1916 oleh William Boeing di Seattle, perusahaan ini berawal sebagai usaha sederhana yang membangun pesawat amfibi.
Akan tetapi, dorongan inovasi yang tiada henti dengan cepat mendorong perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini ke garis depan industri penerbangan dunia.
Melalui dua perang dunia, Boeing memasok pesawat-pesawat ikonik seperti B-17 Flying Fortress dan B-29 Superfortress, memberikan kontribusi signifikan pada upaya perang Sekutu.Â
Pada era pasca-perang, Boeing terus mendorong batas-batas dalam dunia aviasi. Pesawat jet 707 yang ramping mengantar era perjalanan jet komersial, sementara Jumbo Jet 747 yang inovatif, dengan punuknya yang khas dan kapasitasnya yang masif, selamanya mengubah perjalanan udara internasional.Â
Kecakapan teknik Boeing meluas ke eksplorasi ruang angkasa, memainkan peran penting dalam misi Apollo NASA dan pengembangan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Kesuksesan selama beberapa dekade mengukuhkan reputasi Boeing sebagai pilar kekuatan industri AS dan simbol global keunggulan dirgantara.
Akan tetapi, perubahan penting terjadi pada tahun 1997 dengan adanya merger kontroversial antara Boeing dengan McDonnell Douglas.
Meski dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan dominasi mereka dalam melawan kompetitor dalam negeri dan dari Eropa, penggabungan ini membawa perubahan budaya yang signifikan di dalam Boeing.Â
McDonnell Douglas, yang dikenal dengan fokus militer dan sejarah langkah-langkah pemotongan biaya, bisa dibilang memperkenalkan pola pikir yang secara halus mulai mengikis etos Boeing yang berpusat pada teknik dan kualitas.
Dedikasi yang dulu dianggap sakral terhadap desain yang ketat dan pengujian menyeluruh tampaknya menghadapi tekanan yang meningkat dari tuntutan pasar dan ekspektasi pemegang saham, termasuk eksekutif bawaan dari McDonnell Douglas.
Tekanan untuk Bersaing -- Munculnya 737 MAX
Pada awal dekade 2010-an, Boeing menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pesaing beratnya di Eropa, Airbus. Pesawat Airbus A320neo, yang menawarkan efisiensi bahan bakar yang lebih baik berkat mesin barunya, dengan cepat memperoleh pangsa pasar.Â
Dengan keinginan untuk melawan kesuksesan Airbus tersebut, Boeing memulai sebuah program dengan konsekuensi yang akhirnya sangat fatal: pengembangan pesawat Boeing 737 MAX.
Alih-alih melakukan desain ulang yang mahal dan memakan waktu dari pesawat induk lamanya, Boeing 737 Next Generation, Boeing mengincar solusi yang cepat dan mengutamakan keuntungan.Â
Program Boeing 737 MAX dirancang untuk menggabungkan mesin yang lebih besar dan efisien sambil meminimalkan perubahan yang akan memerlukan pelatihan ulang pilot yang ekstensif.
Akan tetapi, mesin baru tersebut secara fundamental mengubah karakteristik penerbangan pesawat Boeing kelas ini. Untuk melawan kecenderungan pesawat untuk naik ke atas, Boeing menerapkan sistem MCAS yang kini terkenal.Â
Yang terpenting dari MCAS, perangkat lunak ini bergantung pada satu sensor untuk data, menciptakan titik kegagalan yang berbahaya. Dorongan tanpa henti untuk menampilkan Boeing 737 MAX sebagai sekadar peningkatan, bukan sebagai pesawat yang dimodifikasi secara signifikan, memiliki implikasi yang mengerikan.
Para eksekutif Boeing melobi Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) secara agresif untuk melawan persyaratan pelatihan simulator yang mendalam.Â
Komunikasi internal kemudian mengungkapkan pola yang mengganggu dalam meremehkan potensi risiko sistem MCAS dan bahkan mengejek siapapun yang menyuarakan kekhawatiran tentang keselamatan dari sistem tersebut.
Tujuannya, tampaknya, adalah untuk mempercepat program Boeing 737 MAX dalam melewati proses sertifikasi yang komprehensif dan kemudian dioperasikan guna meraup keuntungan finansial secepat mungkin.
Bencana Menimpa -- Kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines
Konsekuensi tragis dari keputusan buru-buru tersebut terungkap pada 29 Oktober 2018, ketika Lion Air Penerbangan 610 jatuh tak lama setelah lepas landas dari Jakarta, Indonesia. Semua penumpang yang berjumlah 189 jiwa di dalamnya tewas mengenaskan di Laut Jawa.
Kurang dari lima bulan kemudian, pada 10 Maret 2019, Ethiopian Airlines Penerbangan 302 mengalami nasib mengerikan yang sama, jatuh ke tanah beberapa menit setelah meninggalkan Addis Ababa.Â
Sebanyak 157 nyawa lagi dari kejadian nahas hilang tanpa alasan yang jelas. Dunia lantas tersentak kaget dan tidak percaya. Dua pesawat yang hampir baru, dioperasikan oleh maskapai penerbangan besar, yang mengalami kecelakaan yang sangat mirip akhirnya mengungkapkan kegagalan sistemik dari Boeing.Â
Saat penyelidikan berlangsung, fokus tertuju pada sistem MCAS pada pesawat Boeing 737 MAX dan kelemahan fatalnya. Tapi yang sama mengerikannya adalah respon Boeing setelahnya.
Alih-alih menerima tanggung jawab, pernyataan awal menyindir kesalahan pilot dan prosedur perawatan yang tidak memadai, terutama dalam kasus Lion Air.
Upaya putus asa untuk mengalihkan kesalahan menutupi kenyataan pahit bahwa Boeing dengan sengaja menempatkan produk yang cacat ke pasar penerbangan dunia.
Dampak -- Sebuah Warisan yang Hancur
Dampak dari skandal Boeing 737 MAX menghancurkan Boeing di berbagai bidang. Pesawat tersebut sempat dilarang terbang di seluruh dunia beberapa waktu lama, menjerumuskan perusahaan ke dalam krisis keuangan yang tidak pernah mereka bayangkan.
Tuntutan hukum meningkat ketika keluarga yang berduka mencari keadilan, mengungkap rasa sakit yang tak terduga yang disebabkan oleh kelalaian Boeing.Â
Investigasi pemerintah dan sidang Kongres AS mengungkapkan pola penipuan yang memberatkan, perampasan peraturan, dan pengabaian yang mengejutkan terhadap nyawa manusia demi mengejar keuntungan. Meskipun demikian, kerusakan yang terjadi tidak terbatas pada kasus Boeing 737 MAX.Â
Kepercayaan pada Boeing secara keseluruhan terguncang hingga ke intinya. Laporan puing-puing yang ditemukan di pesawat Boeing 787 Dreamliner yang baru dikirim, cacat produksi, dan gangguan perangkat lunak yang mengkhawatirkan di pesawat ruang angkasa Starliner melukiskan gambaran yang mengganggu tentang suatu perusahaan yang telah kehilangan arah.
Setiap terungkapnya hal baru memperdalam skeptisisme tentang kemampuan pesawat Boeing, terlepas dari modelnya, untuk benar-benar dapat dipercaya.
Peluang Terakhir: Jalan Menuju Penebusan?
Kejatuhan Boeing merupakan dakwaan mengerikan terhadap keserakahan perusahaan yang tidak terkendali. Upaya mereka untuk menipu regulator dan pengabaian yang tidak berperasaan terhadap keselamatan penumpang telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Satu-satunya jalan ke depan, jika memang ada, terletak pada perombakan mendasar budaya perusahaan. Keselamatan, bukan keuntungan, harus menjadi prioritas yang tidak dapat disangkal dan bahkan sekedar dinegosiasikan.Â
Boeing perlu mendorong transparansi, mendengarkan para whistleblower, dan berinvestasi dalam teknik yang handal. Beban 346 nyawa dan kepercayaan yang hancur dari industri global tidak menuntut apa pun yang kurang dari itu.
Dengan demikian, Boeing tentu diharapkan kembali menjadi produsen pesawat yang sangat menjunjung tinggi kualitas dan keselamatan penumpang di atas segalanya, dengan program-program inovatif yang mengubah dunia menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H