Mohon tunggu...
Andi Nurroni
Andi Nurroni Mohon Tunggu... -

I'll give my best to people's struggle!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengenang Koperasi Indonesia

5 Maret 2011   06:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Koperasi, demikian panggilannya. Ia ada di lingkungan sekolah, perkampungan petani, hingga di tempat kerja para pegawai negeri maupun swasta. Memang, sebagian besar rakyat Indonesia mengenalnya. Namun, seberapa jauh pemahaman kita tentang koperasi? Lantas, bagaimana perkembangan dunia perkoperasian Indonesia saat ini?

Jika ada sebentuk badan usaha yang disebutkan secara tersurat dalam Penjelasan UUD 1945, itu hanyalah koperasi. “… Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” demikian bunyinya. Dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), koperasi adalah anak emas yang diamanati pesan oleh para pendiri republik ini untuk menyejahterakan rakyat. Namun menariknya, selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, koperasi semakin terpuruk, dan hari ini hanya menyisakan tonggak-tonggak papan nama yang dirawat oleh segelintir orang demi kepentingannya.

Tak pelak lagi, pemerintah memiliki andil paling besar dalam terpinggirkannya koperasi. Tercatat sejak berkuasanya Orde Baru, haluan pembangunan ekonomi bergeser demikian jauh. Hal tersebut ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Penanman Modal Asing (PMA). Dengan hadirnya peraturan tersebut, Indonesia yang saat itu sedang berjuang setengah mati untuk menegakan kedaulatan ekonomi, seketika dihadapkan pada derasnya arus investasi asing. Tidak tanggung-tanggung, sejak saat itu, berdatanganlah berbagai megakorporasi multinasional, seperti Freeport, Shell, Exxon Mobile, dan lain sebaginya. Kondisi inilah yang menyebabkan sulit berkembangnya koperasi.

Sekarang kita merasakan dampak dari penguasaan asing yang berlebihan atas sumberdaya alam Indonesia. Sebagai gambaran, dalam satu dekade terakhir, 82 persen dari total investasi di Indonesia berbetuk PMA. Namun ironisnya, angka kemiskinan dan pengangguran tidak tereduksi secara signifikan. Menurut data yang dihimpun BPS, angka pengangguran tahun 2010 masih mencapai 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,3 persen. Jika menggunakan standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia lebih dari separuh populasi. Dengan sumberdaya alam dan manusia yang melimpah, seharusnya tidak ada alasan rakyat di negeri ini miskin jika pemerintah tidak salah dalam mengurus perekonomian.

Sementara itu, juga akibat kalah bersaing dengan megakorporasi multinasional, sampai akhir tahun 2010 saja, sebanyak 17 BUMN mengalami kerugian sebesar Rp 700 miliar (Kementrian BUMN, 2010). Untuk memertahankan dirinya, mutlak BUMN harus bertransformasi menjadi tak ubahnya perusahaan kapitalis dan berlomba memperebutkan pasar. Akumulasi modal harus terus dilakukan, jalannya adalah dengan membuka diri pada investasi (go public). Inilah yang disebut sebagai privatisasi BUMN.

Tahun 1997/1998, Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya terpuruk dihantam krisis. Namun secara perlahan perekonomian Indonesia terus merangkak, hingga hari ini kita jumpai kondisinya jauh lebih baik. Faktor penting di balik pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor informal. Jadi, unit-unit usaha mikro, seperti industri rumahan, warung, ojeg, dan lain sebagainyalah yang menggerakan roda ekonomi Indonesia dan menghindarkan negeri ini dari kebangkrutan. Sebagai bukti, dari 107,4 juta orang yang bekerja, sekitar 73,6 juta orang (68,6 persen) berada di sektor informal (BPS, 2010). Jelas, usaha rakyat memiliki andil besar terhadap gerak laju ekonomi Indonesia sehingga membuat ekonomi kita relatif lebih kuat,bahkan dalam menghadapi dampak Krisis Keuangan Global maupun Krisis Utang Eropa yang terjadi beberapa waktu ke belakang.

Namun sayangnya, kondisi ini tidak memicu kesadaran pemerintah untuk memerhatikan secara serius ekonomi rakyat. Sebagaimana kita ketahui, unit-unit usaha kecil milik rakyat sangat rentan terhadap kebangkrutan karena mereka dipaksa bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar multinasional. Salah satu jalan menguatkan ekonomi rakyat adalah dengan cara memfasilitasi mereka untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk koperasi. Inilah yang tidak dilakukan pemerintah.

Sebagaimana tercatat UU No. 25 tahun 1992 Pasal 4, fungsi dan peran koperasi adalah 1). Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, 2). Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, 3). Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko-gurunya, 4). Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi, 5). Mengembangkan kreativitas dan membangun jiwa berorganisasi bagi para pelajar bangsa.

Patut disesalkan, apa yang diamanatkan dalam dasar hukum tersebut tidaklah terlaksana dengan baik. Sebagaimana telah di singgung di atas, hari ini yang tersisa dari koperasi hanya papan namanya saja, yang sengaja dirawat oleh segelintir orang untuk kepentingan pragmatis. Di pedesaan, hari ini koperasi hanya menjadi alat legitimasi para tuan tanah dan tengkulak untuk mencairkan berbagai bantuan dari pemerintah, memonopoli hasil-hasil bumi petani, serta menjadi agen pupuk dan bibit mahal yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Di sekolah maupun di kampus, koperasi semakin kehilangan identitasnya sebagai ujung tombak ekonomi kerakyatan karena kurikulum yang berlaku tidak menggambarkan secara terang bagaimana koperasi Indonesia dan gerakannya .Semangat koperasi ini tergerus oleh prinsip-prinsip usaha gaya kapitalis yang individualistis dan menekankan pentingnya aspek persaingan.

Jika terus dibiarkan, koperasi benar-benar hanya akan tinggal kenangan. Seyogianya pemerintah menyadari diskriminasinya selama ini terhadap koperasi dan segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan pilar ekonomi kerakyatan ini, walau itu berarti akan menyinggung kepentingan korporasi-korporasi besar multinasional di negeri ini. Jika, pemerintah tidak berani, biar rakyat sipil yang bergerak. ***

Penulis adalah Koordinator Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun