Mohon tunggu...
andini yong
andini yong Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah

Just a high school student

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Cyberbullying: Penyalahgunaan Bahasa di Media Sosial

22 September 2025   20:18 Diperbarui: 22 September 2025   20:17 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perkembangan teknologi adalah proses berkelanjutan dimana alat dan metode baru diciptakan untuk memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan manusia. Perkembangan teknologi sendiri juga terjadi karena terjadinya proses yang terus berlangsung dengan kebutuhan dan kreativitas manusia dalam menciptakan alat untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di era globalisasi ini, kemajuan teknologi menjadi tanda-tanda adanya kemajuan zaman. Perkembangan teknologi yang terjadi ini memunculkan berbagai aplikasi media sosial seperti Instagram, tiktok, YouTube, dll. Pada tahun 2020 lalu, popularitas media sosial semakin menjulang terutama di kalangan remaja. Meskipun hadirnya sosial media memberikan kita sarana untuk berkomunikasi secara luas, malahan media sosial memberikan dampak dan pengaruh dalam celah kehidupan termasuk membentuk perilaku tercela, salah satunya yaitu cyberbullying. 

Pasti tidak asing lagi dengan kata-kata cyberbullying. Beda dari perundingan konvensional yang terjadi secara langsung maupun secara tatap muka, cyberbullying sendiri terjadi secara media digital. Cyberbullying memiliki arti sebagai perundingan yang terjadi di dalam dunia maya dan bisa terjadi kapan saja tanpa mengenal waktu ataupun dari siapa saja, maupun itu orang yang kita kenal atau orang yang tidak dikenal. Hal ini dapat terjadi di berbagai platform seperti media sosial, game ataupun ponsel sendiri. Beberapa contoh kata-kata yang sering digunakan sebagai hinaan atau ejekan seperti "bodoh", "jelek", "gembrot", "kampungan", "tidak berguna" dan masih banyak lagi. Sebenarnya kata-kata tersebut kalau digunakan dengan benar tidak bakalan memiliki arti yang buruk, namun dengan adanya niat buruk dengan tujuan untuk mengejek, kata-kata tersebut malah disalahgunakan untuk cyberbully. Kebanyakan orang yang melakukan cyberbullying ini sering kali hanya memiliki tujuan untuk mengintimidasi, mempermalu ataupun membuat marah target sasaran. Menurut penelitian Dosen Prodi Digital Neuropsikologi Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) Dini Marlina (2023) menjelaskan berdasarkan hasil sebuah penelitian cyberbullying paling banyak terjadi di media sosial, jumlahnya mencapai 71 persen. Kemudian disusul aplikasi chatting 19 persen, game online 5 persen, dan YouTube 1 persen. Tidak hanya itu Dini juga menjelaskan berdasarkan hasil riset Center for Digital Society pada tahun 2021, dari 3.077 siswa SMP dan SMA, sebanyak 45,35 persen siswa pernah menjadi korban dan 38,41 persen siswa pernah melakukan cyberbullying. Selanjutnya, menurut data Unicef pada tahun 2022, Dini mengungkapkan 45 persen dari 2.777 anak di Indonesia mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Data tersebut merupakan bukti bahwa cyberbullying bukanlah hal yang sepele melainkan hal yang sangat diprihatinkan. Mengapa demikian? Hasil dari perundingan digital ini berdampak sangat besar bagi kesehatan mental para korban. 

Salah satu aspek yang menonjol dalam cyberbullying adalah penyalahgunaan bahasa Indonesia yang digunakan untuk merendahkan, memalukan, ataupun membuat marah korban. Bahasa yang seharusnya digunakan untuk simbol yang dipakai untuk berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan sesama, pada budaya yang dimiliki. Selain itu juga, bahasa adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Namun pelaku sering kali menyalahgunakan bahasa, dengan menggunakannya bahasa sebagai senjata untuk mengekspresikan ujaran kebencian. Penggunaan media cenderung mencampur aduk teks, tanda bahasa, bahkan emoticon dalam penulisan statusnya. Penulisan ini biasanya disebut dengan bahasa alay atau kata lainnya bahasa informal (slang) yang digunakan oleh hampir keseluruhan remaja di Indonesia. Dikutip dari Jurnal yang berjudul "Penggunaan Bahasa Alay pada Bullying Anak di Media Sosial", bahasa (teks) di media siber mengalami perubahan yang dalam pandangan Crystal (2004), bahasa internet atau" internet language" merupakan medium keempat setelah bahwa tulis (writing), bahasa bicara (speaking), dan bahasa tanda (signing). Oleh karena itu, teks yang muncul di ruang obrolan itu diimajinasikan seolah-olah sedang berbicara. Tipografi teks yang muncul serta berkembang di media siber adakalanya berupa kata-kata (morphemes), huruf (graphemes), maupun tanda baca, serta penggunaan simbol-simbol atau gambar tertentu. Sayangnya, fenomena seperti ini masih sering terjadi terutama di kalangan remaja, meskipun kebanyakan sudah menyadari tentang dampak cyberbullying. Lebih dari sekadar masalah linguistik, pola bahasa seperti ini sering menjadi alat untuk merendahkan identitas seseorang, baik dari segi fisik, sosial, maupun bahkan etnis. Di Indonesia sendiri sudah banyak terjadi mengenai kasus cyberbullying, salah satunya melibatkan unsur rasisme. 

Beberapa tahun yang lalu munculnya sebuah kasus cyberbullying yang dialami oleh salah satu mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berkaitan kritiknya kepada pemerintah di media sosial (medsos). Ambroncius Nababan, pelaku serangan, adalah ketua relawan Pro Jokowi-Amin (Projamin). Kasus perundingan ini melibatkan ujaran kebencian dan diskriminasi berbagai ras. Kasus ini menyoroti masalah rasisme yang masih ada di masyarakat. Menurut Suparji (2021), pernyataan saling menyindir di media sosial, apalagi dilakukan tokoh publik, bukan opini yang baik bagi masyarakat. "Muatannya tidak mencerdaskan dan menginspirasi," katanya. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial ataupun internet bukanlah tempat untuk menyalahgunakan ruang berekspresi, malahan kejadian seperti ini memicu terjadinya konflik antar individu. Tidak hanya itu juga kasus rasisme dari tahun ke tahun semakin liar, pasti tidak heran lagi jika banyak perpecahan yang terjadi hanya karena rasisme. Kejadian seperti ini bahkan dapat memakan korban jiwa. 

Kurangnya kesadaran pelaku terhadap hal yang dilakukan dapat memicu kesalahpahaman. Meskipun kelakuan hanya dianggap sebagai lelucon, mereka tidak menyadari bahwa kelakuan mereka dapat mempengaruhi mental korban. Selain pihak korban, pihak yang merasakan menjadi pelaku dapat melakukan pencegahan. Apa saja sih yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cyberbullying. Untuk pencegahan dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk pelaku dan juga korban. Yang pertama pelaku dapat mengidentifikasi diri sendiri, dengan cara merefleksikan aksi yang telah dilakukan, tetapi jika kesulitan dalam mengidentifikasi masalah, pelaku dapat mencari bantuan dari ahli dokter untuk mencari faktor pemicunya. Pelaku juga bisa mulai menghindari lingkungan maupun pertemanan yang tidak layak untuk perkembangan hidup. Untuk pihak korban, hal pertama yang dapat mereka lakukan adalah untuk mengumpulkan bukti bullying yang diterima agar dapat dilaporkan kepada pihak berwenang untuk membantu dalam mengatasi. Terakhir dapatlah dukungan emosional dari orang tua, teman, atau bisa juga dengan konsultasi ke psikiater atau psikolog.

Jadi kesimpulannya, cyberbullying merupakan sebuah fenomena yang muncul karena adanya perkembangan teknologi sendiri. Meskipun perkembangan teknologi memiliki dampak positif bagi masyarakat, dampak negatif yang muncul, seperti cyberbullying malah memicu kerusakan mental para korban. Maka seharusnya kita malah menggunakan perkembangan teknologi secara bijak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun