Gerimis hujan menyejukkan Ibukota sore ini. Aku masih terdiam di sudut sebuah coffee shop bergaya klasik di bilangan Jakarta Selatan. Di kepalaku masih dipenuhi sejuta pertanyaan tentang kebenaran foto pada Instagrammu. Tapi lagi-lagi aku teringat bahwa aku harus menggunakan nalarku untuk menjawab pertanyaan itu. Aarrgh..
"Apa kabar Jeng? Di Jakarta kah?"
Sebuah pesan singkat masuk di WA-ku. Aku intip dengan mata sebelah. Hah? Bujana. Dia selalu ingin tahu kabar keberadaanku.
"Iya sudah di Jakarta dari 2 hari yang lalu. Kenapa?" jawabku singkat.
"Kalau ada waktu dalam minggu ini ketemuan yuk. Aku ingin mendengar ceritamu selama sebulan terakhir ini. Hehe." tulisnya lagi.
Halah, laki-laki ini seperti guru Bahasa Indonesiaku dulu ketika SD yang rajin mengabsen keberadaan murid-muridnya selama liburan panjang kenaikkan kelas dan meminta untuk menceritakannya ke dalam sebuah karangan pendek bebas pada lembaran kertas folio.
"Iya ok, nanti aku kabari harinya yaaa..." jawabku santai.
Bicara soal Bujana, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Pertemuan tanpa di sengaja di sebuah pulau jauh dari Ibukota seperti aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup. Tanpa aku sadari, dia selalu ada. Sedikit terdengar lebay tapi begitulah adanya. Berbeda dengan Kris, laki-laki yang baru saja aku ketahui memiliki kekasih melalui akun Instagramnya, aku merasa jauh berbeda. Dengan Kris aku memiliki angan jauh lebih tinggi dari langit di atas sana. Aku menginginkan Kris menjadi pendampingku. Tapi pada kenyataannya? Nalarku pun tak mampu menjawabnya.
Aku teringat pada quote seorang Sujiwo Tedjo yang kurang lebih bunyinya seperti ini,
"Tuhan, kalau memang cintaku terlarang kepada Shinta, kenapa Kau bangun megah rasa ini di dalam sukmaku, Tuhan?"
Namun, kemegahan itu sekarang aku runtuhkan secara paksa, untuk segera aku bangun kembali puing-puingnya. Aku menghela nafas panjang.