Drama Harga Pertalite & PertamaxÂ
Beberapa bulan lalu, saya sempat terdiam lama di pom bensin. Bukan karena sedang berpikir mau ambil RON 90 atau 92, tapi karena ingat di media sosial, berita tentang harga BBM sempat ramai. Bahkan sampai bikin heboh soal siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Pembaca pasti masih ingat kasus Pertamax oplosan, kasus dugaan korupsi yang melibatkan pencampuran Pertamax dengan bahan bakar lain, seperti Pertalite, untuk menekan biaya produksi. Kejagung membongkar kasus ini pada Februari 2025 dan memperkirakan kerugian negara mencapai Rp 968,5 triliun
Saat itu, saya mulai berpikir: "Ini cuma soal ekonomi pasar, atau ada yang lebih dalam?"
Rasa penasaran saya membawa ke hal-hal yang tidak pernah saya duga. Kebetulan saat itu di bulan Februari saya sedang berbincang dengan salah satu teman saya, seorang pengamat sejarah, Bapak Bambang Ariyo Damar. Saat itu saya sedang banyak bertanya mengenai fakta di balik stigma bahwa budaya korupsi adalah warisan dari penjajah Belanda.
Ternyata, ada benang merah panjang antara harga BBM hari ini dan warisan masa lalu yang jarang dibicarakan. Mulai dari kisah petinggi Pertamina di era Orde Baru yang begitu berkuasa, bukan cuma mengelola minyak, tapi seakan punya 'negara dalam negara' sendiri. Hingga ke akar budaya korupsi yang katanya sudah tertanam sejak zaman penjajahan VOC.
Yang lebih mencengangkan, saya menemukan satu hal yang menurut saya semacam "plot twist sejarah": isi Prasasti Luitan.
Jadi, ketika kita bicara soal harga Pertalite dan Pertamax, kita sebenarnya sedang menyinggung hal yang jauh lebih besar dari sekadar angka. Ini soal sejarah panjang kekuasaan, kepercayaan publik, dan pola-pola lama yang terus berulang.
Mau tahu bagaimana semua ini saling berkaitan? Yuk, kita susuri bersama kisahnya!
Jejak Lama di Balik Harga BBM: Dari Ibnu Sutowo ke Prasasti Luitan