Kalau lagi bingung, lebih nyaman curhat ke sahabat atau AI?
Ketika kita merasa tidak nyaman untuk membicarakan perasaan kita kepada teman dan keluarga, berbicara dengan AI mungkin menjadi jalan keluarnya. AI menyediakan zona bebas penghakiman yang terasa lebih nyaman bagi kita saat kita membutuhkan tempat aman untuk berbagi perasaan. Hal ini dapat memberikan rasa tenang yang seringkali kita butuhkan. Karena AI merupakan mesin yang terus belajar, kita dapat mengajarkannya (atau secara tidak sadar sudah mengajarkannya) untuk memvalidasi perasaan kita, untuk menjadi sahabat kita, dan untuk selalu setuju dengan pendapat kita. Meskipun mungkin terasa melegakan dan memvalidasi, penting untuk diingat bahwa AI adalah robot yang terus belajar dan bukan manusia. Lalu, apa yang membuat orang tertarik untuk curhat kepada AI?
Anonimitas di dunia digital, dalam hal ini penggunaan AI, membuat pengguna merasa lebih nyaman berbagi masalah pribadi mereka. Kecemasan sosial berkurang, tidak ada rasa takut dihakimi, dan AI menawarkan dukungan yang konsisten. AI juga tersedia 24 jam, membuat waktu bicara lebih fleksibel bagi kita manusia. AI tidak memiliki emosi sehingga tampak lebih sabar saat berurusan dengan kita. Responsnya yang cepat dan "kemauan" untuk merespons dengan cepat menutupi fakta bahwa AI sebenarnya tidak punya emosi. Mesin belajar ini tidak akan pernah merasa capek dengan curhatan kita, dan seringkali akan memberikan berbagai sugesti untuk membantu melakukan introspeksi diri.
Namun, perlu diingat kembali bahwa AI adalah mesin, bukan manusia. AI memahami teks atau prompt yang diberi oleh pengguna, namun AI tidak benar-benar merasakan. AI juga dapat mengiyakan seluruh pendapat kita, mengabaikan konteks, dan membenarkan hal yang sebenarnya salah. Bahkan, menurut Presiden Asosiasi Psikolog Australia, Sahra O'Doherty, orang yang memakai chatbot yang belum paham akan konsep AI dapat memperburuk emosi dan pikiran. Beliau mengingatkan bagaimana pentingnya dapat membedakan yang nyata dan mana yang dihasilkan AI, agar tidak terjerumus ke dalam kondisi yang lebih buruk. Contoh lainnya adalah ketika Nina Vasan, seorang psikiater dari Stanford, sedang menyamar sebagai gadis remaja saat sedang bercerita ke chatbot AI bahwa ia "mendengar suara-suara di kepalanya" dan ingin pergi jauh ke pedalaman hutan, dan chatbot tersebut membalas dengan, "Berkelana di hutan berdua saja kedengarannya seperti petualangan yang menyenangkan!". AI tersebut tidak menyadari bahwa seseorang dibalik layar mungkin seorang anak yang sedang dalam kesulitan. Hal ini dapat membahayakan pengguna yang terlalu bergantung pada AI untuk dukungan emosional dan terapi psikologis. Ketergantungan ini juga dapat menyebabkan pengguna untuk lebih memilih curhat ke AI dibandingkan dengan manusia.
Memang tidak ada larangan maupun batasan untuk curhat pada AI. Mungkin untuk sesekali, AI dapat menjadi "teman tambahan" untuk curhat, namun bungan sebagai pengganti manusia. Ada pentingnya untuk menjalani hubungan dengan manusia di kehidupan nyata, karena AI tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan seperti empati (yang nyata), tidak memiliki emosi yang terlihat, bahasa tubuh, dan hal-hal lain yang penting untuk membentuk sebuah hubungan atau koneksi.
Kalau suatu saat hati sedang gundah, apakah Anda akan memilih curhat ke manusia atau ke AI?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI