Mohon tunggu...
Andi Maulana
Andi Maulana Mohon Tunggu... Kamus Institute / Penulis Opini dan Berita

Lulusan S1 Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pamulang Tahun 2023. Berpengalaman dalam penyusunan dokumen hukum, pengembangan organisasi masyarakat, pendidikan, dan advokasi hukum. Memiliki semangat kolaborasi yang tinggi, kemampuan kepemimpinan yang baik serta keterampilan dalam menulis dan membuat konten berita.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pancasila di Tengah Polarisasi: Mengembalikan Akal sehat Politik Bangsa

5 Oktober 2025   20:17 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr Heri Solehudin Atmawidjaja, MM.

DEPOK -Tanggal 1 Oktober selalu menjadi momen refleksi tentang arti Kesaktian Pancasila. Setiap tahun, bangsa ini diajak mengingat kembali betapa pentingnya lima sila itu menjadi penuntun arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di tengah situasi sosial politik yang semakin terpolarisasi, makna kesaktian itu kerap hanya berhenti sebagai seremoni kenegaraan, bukan kekuatan moral yang mengikat nurani bangsa.

Pancasila Diuji oleh Polarisasi

Sejak beberapa tahun terakhir, ruang publik kita dipenuhi oleh narasi-narasi yang membelah. Perdebatan politik tak lagi sehat; ia berubah menjadi pertarungan identitas, bahkan permusuhan sosial. Media sosial menjadi arena tempur, di mana logika dikalahkan oleh fanatisme dan informasi benar dikubur oleh sensasi.

Dalam suasana seperti ini, Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Ideologi yang seharusnya menjadi perekat justru sering dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok. Banyak pihak mengaku paling Pancasilais, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Padahal, semangat Pancasila bukan untuk menonjolkan siapa paling benar, melainkan untuk memastikan semua pihak tetap berada dalam koridor persatuan.

Krisis Akal Sehat Politik

Salah satu tanda paling nyata bahwa Pancasila mulai kehilangan pengaruh substantif adalah menurunnya akal sehat dalam politik. Rasionalitas publik dikaburkan oleh propaganda dan narasi hitam-putih. Oposisi dianggap musuh, kritik dimaknai sebagai kebencian, dan loyalitas sering diukur dari seberapa keras seseorang membela figur, bukan gagasan.

Dalam konteks ini, Kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai kesaktian akal sehat, yakni kemampuan bangsa untuk tetap berpikir jernih, berdebat secara beradab, dan mengutamakan kepentingan bersama. Nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan seharusnya menjadi pagar moral yang menahan kita dari keterbelahan ekstrem.

Media Sosial dan Perang Persepsi

Fenomena polarisasi politik tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Algoritma yang diciptakan untuk menyenangkan pengguna justru membangun ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar pendapat yang sejalan dengannya. Akibatnya, kemampuan untuk memahami perbedaan semakin menurun.

Dalam suasana seperti itu, Pancasila perlu hadir dalam ruang digital bukan sebagai jargon normatif, tetapi sebagai nilai yang dihidupkan. Misalnya, prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat diterjemahkan sebagai etika berdigital: menghormati perbedaan pandangan, menolak ujaran kebencian, dan menumbuhkan empati dalam berkomunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun