Mohon tunggu...
a.andik firdaus
a.andik firdaus Mohon Tunggu... -

smpn 1 tanggulangin sman 2 sidoarjo iain sunan ampel surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agil dalam Perspektif

18 Maret 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perspektif Talcott Parsons[1] sistem tindakan akan menghadapi empat survival problems, yakni: (1) adaptation, goal-attainment, (2)(3) integration, dan (4) pattern maintenance and tension management (latency).Pertama, adaptasi mencakup upaya menyelamatkan (secure) sumber-sumber yang ada di lingkungan, dan kemudian mendistribusikannya melalui sistem yang ada. Setiap masyarakat dituntut memiliki kemampuan untuk memobilisasi setiap sumber yang ada di lingkungannya sehingga sistem tersebut dapat berjalan dengan baik. Parsons mengatakan: “Adaptation involves securing sufficient resources from the environment and then distributing these throughout the system. Any society must be able mobilize resources to get things done”.

Terkait dengan tema budaya nasional profetik, berarti harus ada upaya mengamankan sumber-sumber sosial budaya profetik yang ada di lingkungan masyarakat dan kemudian mendistribusikan sumber-sumber tersebut ke anggota sistem sehingga proses adaptasi berjalan lancar. Adaptasi merupakan proses eksternalitas dari para warga terhadap norma dan nilai budaya profetik.

Di dalam sistem sosial budaya masyarakat Indonesia, sesungguhnya masih hidup sumber-sumber budaya profetik yang dapat diberdayagunakan kembali. Sumber-sumber dimaksud misalnya sistem kebersamaan, kolektivisme, altruisme, gotong-royong, tenggang rasa (dalam bahasa Jawa tepo seliro), malu memamerkan aurat, keyakinan tentang halal-haram, keyakinan tentang adanya kehidupan baik di dunia maupun di akhirat, dll.

Kedua, pencapaian tujuan (goal-attainment) adalah terkait dengan upaya menetapkan prioritas diantara tujuan-tujuan sistem yang ada, serta selanjutnya memobilisasi sumber-sumber sistem untuk mencapai tujuan tersebut. Parsons mengatakan, “goal-attainment refers to establishing priorities among system goals and mobilizing system resources for their attainment”. Fungsi dari goal-attainment adalah untuk memaksimalkan kemampuan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif mereka.

Sistem sosial budaya profetik yang digagas di sini juga harus memiliki berbagai alternatif tujuan, yang mana selanjutnya akan dipilih prioritasnya. Katakanlah yang terkait dengan tema tulisan ini, yang menjadi prioritas tujuan sistem budaya profetik adalah terbangunnya budaya masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma agamanya. Atas dasar prioritas tujuan semacam ini, selanjutnya harus diupayakan mobilisasi sumber-sumber sistem sosial budaya profetik yang ada untuk mencapai tujuan dimaksud. Dengan demikian perlu langkah-langkah efektif, proporsional, professional, dan sistematis dari semua elemen sistem untuk mendukung misi tersebut. Sub-sub sistem budaya yang dapat dimobilisasi dapat terkait dengan sub-sistem budaya, pendidikan, agama, bahasa, hiburan dan media massa yang semuanya mesti menjunjung tinggi nilai-nilai profetikisme.

Ketiga, integrasi terkait dengan tindakan koordinasi dan pemeliharaan antar hubungan unit-unit sistem yang ada. Parsons mengatakan, “integration denotes coordinating and maintaining viable interrelationships among system units.” Dalam interaksi sangat mungkin ada ketegangan dan konflik, oleh sebab itu perlu ada ways of regulating relations antar bagian-bagian sistem yang ada. Komunitas dan institusi kultural, seperti organisasi religi/agama, pendidikan, dan komunkasi massa, memiliki sumbangan bagi terjadinya integrasi.

Memperhatikan pemikiran teoritik di atas, integrasi dalam kaitannya dengan pengembangan budaya nasional profetik berarti merupakan upaya internal masyarakat untuk merapatkan diri sejalan dengan garis sistem budaya profetik yang ada. Sub-sub sistem integrasi yang terkait dengan kajian ini misalnya, sub-sistem gereja, sub-sistem masjid, sub-sistem vihara, sub-sistem klentheng, sub-sistem pura, dan lain sebagainya.

Keempat, latensi mencakup dua masalah yang saling bertautan, yakni pemeliharaan pola dan manajemen ketegangan. Pemeliharaan pola terkait dengan upaya bagaimana meyakinkan aktor yang berada di dalam sistem untuk menampilkan karakteristik yang tepat, baik yang berkaitan dengan motif, kebutuhan, dan perannya. Sementara itu, manajemen ketegangan berhubungan dengan ketegangan internal sistem dan juga ketegangan aktor di dalam sistemnya. Parsons menyebutkan, “latency embraces two related problems: pattern maintenance and tension management. Pattern maintenance pertains to how to ensure that actors in the social system display the appropriate characteristics (motives, needs, role-playing, etc). Tension management concerns dealing with the internal tensions and strains of actors in the social system.”

Gagasan untuk mengembangkan budaya nasional profetik tentu akan melahirkan ketegangan-ketegangan, baik di kalangan warga masyarakat maupun antar unit-unit sistem yang ada. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah resolusi atau pengelolaan ketegangan yang ada, sehingga dapat dioptimalisasikan menjadi hal-hal yang positif. Transformasi ketegangan atau konflik untuk menjadi sesuatu yang fungsional bagi sistem adalah berangkat dari keyakinan bahwa konflik itu merupakan keniscayaan yang tidak dapat terhindarkan. Latensi dapat dilakukan oleh sub-sub sistem seperti lembaga kesenian dan budaya, forum-forum multikultural, keluarga inti dan lain-lain.

Penguatan budaya nasional profetik melalui AGIL Parsons sebagaimana dipaparkan di atas, kiranya dapat diringkas ke dalam penjelasan sistem dan sub-sistem budaya seperti dalam tabel di bawah ini.

Fungsi Fundamental Sistem Sosial Budaya

INSTRUMENTAL

CONSUMMATORY

EKSTERNAL

Adaptasi:

Sistem budaya: sosialisasi dan internalisasi norma dan nilai budaya profetik.

Sub-sistem utama: introduksi urgensi norma dan budaya profetik

Pencapaian Tujuan:

Sistem budaya: Budaya Nasional Profetik.

Sub-sistem utama: kebudayaan,pendidikan,agama, bahasa, media massa dan hiburan, dll yang semuanya menjunjung tinggi profetikisme.

INTERNAL

Latensi:

Sistem budaya: masyarakat, komunitas, keluarga, dll.

Sub-sistem utama: lembaga kesenian dan budaya, forum-forum multicultural, keluarga inti, dll.

Integrasi:

Sistem budaya: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khong Hucu, dll.

Sub-sistem utama:gereja, masjid, pura, vihara, pura, klentheng, dll.

Keterangan: dikembangkan dari konsep Parsons tentang AGIL.

1.Multikulturalisme Profetik

Multikulturalisme profetik adalah suatu pemahaman profetikisme yang menghormati realita masyarakat Indonesia yang multikultural. Salah satu ciri multikultural adalah mengakui adanya perbedaan budaya, menerima adanya perbedaan, dan siap atas segala konskuensi dari perbedaan tersebut. Umumnya, masyarakat kita sudah bisa mengakui dan mau menerima perbedaan budaya yang ada, namun belum memiliki kesiapan diri atas konskuensi perbedaan tadi.

Gerakan multikulturalisme profetik dalam pengembangan budaya nasional akan semarak jika civil society[2] turut berpartisipasi mendorong semua elemen, semua potensi bagi terwujudnya cita-cita luhur tersebut. Masyarakat Indonesia harus secara mandiri diarahkan pada watak bangsa (nation character) yang inklusif atas realita perbedaan budaya, bukan sebaliknya menjadi warga yang eksklusif. Meminjam bahasa Al-Qur’an, warga masyarakat tidak boleh dibiarkan ‘bisu, tuli, dan buta’ atas realita multikultural yang ada di tengah kehidupan.

Dalam kaitan dengan pemikiran multikulturalisme profetik, maka tidak ada kata lain bagi warga masyarakat Indonesia selain untuk selalu berusaha menyadari, menerima, dan siap konskuensi perbedaan budaya, termasuk di dalamnya yang terkait dengan perbedaan agama. Semua perbedaan itu merupakan social capitals[3] yang justru dapat diberdayakan bagi terciptanya kerukunan umat beragama. Modal sosial ini dapat disinergikan dengan culture, political, dan economic capitals untuk membangun rasa saling percaya (trust) dan jaringan (network) gerakan multikulturalisme profetik guna mendukung struktur dan konstruk budaya nasional yang memberdayakan manusia sebagai umat Tuhan yang berperadaban.

Langkah-langkah multikulturalisme profetik tidak harus menunggu uluran tangan dari state dan ataupun market (meski ini juga perlu), melainkan cukup mengoptimalkan potensi kemampuan kemandirian masyarkat sipil yang dari hari ke hari semakin kita rasakan kedewasaannya. Meskipun ada natural flow tentang semakin sadarnya masyarakat sipil untuk bersikap da bertindak multicultural, namun mainstreamroh profetikisme dirasa masih penting untuk didesakkan sehingga berkemampuan mengontrol proses pewarnaan untuk lebih berasa religius.

A.Penutup

Menurut Edward B. Taylor kebudayaan adalah suatu kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral dan adab serta berbagai kemampuan ataupun kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu simbol dari makna-makna. Kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna pada hidup kita. Kebudayan mengacu pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan, diwarisi, diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap dan pendirian mereka tehadap kehidupan.[4]

Sementara itu menurut Keesing[5]terdapat empat pendekatan kebudayaan sebagai berikut :

a)Kebudayaan sebagai sistem yang adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari dengan fungsi primernya menyesuaikan masyarakat manusia dengan lingkungannya.

b)Pendekatan budaya sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apa pun yang diketahui dalam berfikir menurut tata caratertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan yang diteliti.

c)Pendekatan sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiranmanusia.

d)Memadang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yangdimilikibersama, yang dapat diidentifikasikan da bersifat publik.

Menurut Jefrey C. Alexandre budaya itu adalah how people make their lives meaningful. Budaya adalah bagaimana manusia membuat kehidupannya menjadi penuh arti, suatu makna yang mampu membawa manusia dapat menjadi benar-benar manusia. Kehidupan yang lepas dari tekanan, paksaan, penjajahan, eksploitasi, maupun hegemoni yang mendistorsi kualitas kemanusiaan manusia. Budaya dengan demikian harus mememenuhi seperangkat nilai seperti mencerahkan (enlightenment), humanis (humanity),membebaskan (liberation), demokratis, respek pada yang lain (respect to others), namun tetap terikat pada prinsip kebebasan yang bertanggung-jawab (responsible freedom).

Sistem budaya (cultural system) dalam perspektif sosiologi merupakan salah satu bagian dari struktur tindakan sosial manusia. Sistem budaya secara interdependensi bekerjasama dengan sistem sosial (social system), dan sistem kepribadian (personality system) menjadi pewarna proses internalisasi nilai-nilai melalui sosialisasi. Pemikiran teoritik ini dapat dipergunakan untuk mengembangkan model sosialisasi profetikisme sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun