Mohon tunggu...
Andika Prtm
Andika Prtm Mohon Tunggu... Mahasiswa UINJKT

Just writing to busying myself and avoid the boring sense. Content Interests: Socio-Psychology, Linguistics, Cultural-Gender Studies, Philosophy.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bagaimana Short Span Attention Menghancurkan Pola Pikir Kita?

13 Mei 2025   18:10 Diperbarui: 13 Mei 2025   21:35 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source from freepik.com: https://www.freepik.com/free-photo/side-view-boy-with-down-syndrome-holding-smartphone_7088337.htm#fromView=search&page=2&position=38&uuid=fadc4fe9-bf2d-4a09-8379-f2799353c6ff&query=scrolling+social+media

Pernahkah anda berpikir bahwa saat ini kita terjebak dalam situasi dimana kita dibanjiri oleh ribuan bahkan jutaan informasi disekiling kita?. Saat kita sedang bangun tidur, kita membuka hari kita dengan doomscrolling aplikasi sosmed favorit kita. Kita melihat beragam konten mulai dari hiburan, berita, bahkan fenomena-fenomena yang sedang marak ditengah masyarakat yang bahkan kalo kita pikir secara matang konten tersebut tidak memiliki manfaat apapun dalam kehidupan kita. Belakangan ini kita terbiasa di cekoki oleh beragam informasi dalam waktu dan durasi yang relatif singkat. Seiring berjalannya waktu, anda akan mulai merasakan kekosongan, kebosanan, kehampaan ketika harus berhadapan dengan aktfitas seperti membaca buku, novel, dan artikel berita yang membutuhkan durasi lebih dari 5 menit untuk mencerna isi tulisan tersebut agar anda paham. Atau bisa jadi bukan hanya tulisan, tentunya dalam menonton konten video juga pasti anda akan lebih memilih mendapatkan info baru dari video berdurasi singkat seperti 1 menit dibandingkan 5-10 menit. Fenomena ini merupakan hal yang umum terutama di kalangan Gen-Z belakangan ini yang disebut dengan short attention span atau kondisi yang mencegah seseorang untuk bisa tetap fokus pada satu hal dalam menjalankan aktiiftas dalam durasi yang cukup lama.

Dalam riset yang diterbitkan oleh Microsoft pada tahun 2015, hasil penelitan mengungkap bahwa akibat dari pengaruh gaya hidup digital span attention rata rata manusia telah menurun menjadi 8 detik dari 12 detik di tahun 2000 yang uniknya jika dibandingkan dengan ikan mas memiliki 9 detik. Ini adalah penelitan di tahun yang dimana perkembangan teknologi masih belum sepesat sekarang. Lantas bagaimana kondisinya sekarang yang diperburuk dengan situasi pandemik yang melanda selama hampir 3 tahun lamanya?. Inilah yang perlahan membuat otak kita membusuk jika tidak dibenahi. Kebiasaan ini akan mengubah cara berpikir kita secara bertahap dan step-by-step menjadi sebuah aktifitas multitasking yan silih berganti beralihd dari satu ke lain dengan topik yang berbeda, tujuan yang berbeda, dan rasa penasaran yang berbeda pula demi mencapai kepuasaan sesaat.

Source from freepik.com: A man with a smartphone sits in front of a laptop late at night | Free Photo
Source from freepik.com: A man with a smartphone sits in front of a laptop late at night | Free Photo

Aktifitas multitasking akibat information overload ini yang secara cepat atau lambat akan merusak sistem kinerja otak kita baik dari segi berpikir analitis, kritis, maupun sistematis. Lalu gimana sih kita bisa memperbaiki dan mengembalikan kinerja sehat otak supaya fokus kita terhadap satu aktifitas tidak terbuang cuma-cuma demi mengisi kepuasan dopamine system yang tidak ada habisnya?. Solusinya cukup sederhana, yaitu melalui pola punish and reward. Paksa diri anda dalam 1 hari membaca buku minimal sekian halaman atau 1 buah artikel saja. Kalaulah anda berhenti sebelum mencapai target yang ditentukan, anda harus menambah porsi bacaan lain sebagai bentuk konsekuensi. Sementara jika berhasil mencapai target, anda bisa melakukan perayaan kecil seperti memakan camilan yang disukai atau sekedar scrolling sejenak bukanlah menjadi masalah, karena sejatinya anda sudah menggugurkan kewajiban anda sebagai komitmen.

Untuk bisa sepenuhnya membentuk habit yang baru, jelas bahwa anda harus memiliki dedikasi yang penuh. Asingnya budaya membaca buku fisik di era sekarang juga menjadi satu tantangan tersendiri karena banyaknya buku digital yang dianggap lebih ringkas dan terjangkau karena banyak berbentuk bajakan dan harga yang murah bahkan gratis pula. Tantangan ini diperparah dengan masuknya inovasi AI yang memperburuk situasi dengan pemikiran ‘’kalo ada yang cepet, ngapain yang lama”, dengan pergeseran zaman yang dahulunya googling dulu menjadi dikit-dikit tanya AI. Melalui proses instan lewat AI tersebut, sudah dipastikan anda mulai teradiksi dan merasa ogah ketika membaca buku atau bahkan artikel yang tidak lebih dari dua halaman saja. Dan dari habit merusak inilah nantinya sistem kinerja otak anda perlahan akan melamban seiring berkembangnya teknologi jika tidak diimbangi dengan melatih kemampuan berpikir kritis lewat membaca.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun