Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar, tetapi juga sebagai ruang yang kaya akan gerakan sosial, budaya, dan lingkungan. Salah satu gerakan yang konsisten memberikan inspirasi adalah Krapyak Peduli Sampah (KPS), sebuah komunitas sekaligus lembaga pengelolaan sampah mandiri yang berpusat di Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum.
Pada 24 Oktober 2024, sekelompok mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berkunjung ke KPS untuk meninjau langsung bagaimana proses pengolahan sampah dilakukan. Kunjungan ini menjadi kesempatan berharga bagi para mahasiswa untuk melihat praktik nyata pengelolaan sampah berbasis komunitas, sekaligus memahami bahwa sampah bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan agama.
Mengenal Krapyak Peduli Sampah
Krapyak Peduli Sampah lahir dari keresahan akan menumpuknya sampah di lingkungan pesantren. Dahulu, produksi sampah di Pondok Pesantren Krapyak mencapai sekitar 2 ton per hari. Namun berkat keseriusan pengelolaan, saat ini jumlah sampah yang tersisa hanya sekitar 100 kilogram per hari. Prinsip yang dipegang adalah "sampah hari ini selesai hari ini", artinya tidak ada penumpukan sampah hingga menimbulkan masalah lingkungan maupun kesehatan.
Andika Muhammad Nuur, Direktur Krapyak Peduli Sampah, menjelaskan bahwa pendekatan pengelolaan dilakukan secaraÂ
Proses Belajar Mahasiswa
Dalam kunjungan tersebut, para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga diajak meninjau beberapa tahapan pengolahan sampah. Pertama, mereka dikenalkan dengan sistem pemilahan sampah organik dan anorganik. Sampah organik dikelola menjadi kompos, eco-enzyme, hingga bahan bakar biogas. Sementara itu, sampah anorganik dipilah berdasarkan jenisnya---seperti plastik, kertas, dan logam---untuk kemudian dijual kembali atau diolah menjadi produk kreatif.
Mahasiswa juga menyaksikan bagaimana para santri dan masyarakat sekitar terlibat aktif dalam pengelolaan ini. Mereka tidak hanya membuang sampah, tetapi juga diajarkan cara mengolahnya. Hal ini menjadi praktik nyata pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam kehidupan pesantren.
Bagi mahasiswa, pengalaman langsung ini memberikan pemahaman bahwa teori tentang lingkungan, green economy, dan pembangunan berkelanjutan tidak cukup jika hanya dipelajari di ruang kuliah. Mereka perlu menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat membangun sistem yang berkelanjutan dengan kearifan lokal.
Nilai Sosial dan Agama dalam Pengelolaan Sampah