Pernah merasa tiba-tiba saldo dompet digital menipis padahal tidak ingat belanja apa saja? Atau mendadak menerima paket padahal tidak sedang merasa butuh apa-apa? Fenomena ini begitu dekat dengan kehidupan mahasiswa zaman sekarang, terutama mereka yang akrab dengan aplikasi belanja online seperti Shopee. Tapi, apakah benar aplikasi belanja online yang menjadi penyebab utama perilaku konsumtif mahasiswa? Ataukah gaya hidup mereka yang sebenarnya jadi pemicunya?
Mari kita kupas lebih dalam dengan pendekatan ilmiah namun santai.
Ketika Belanja Tak Lagi Sekadar Kebutuhan
Perilaku konsumtif sebenarnya bukan hal baru. Sejak era modern berkembang, para pakar mulai mengamati bagaimana manusia membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena "ingin" dan "terlihat keren". Erich Fromm (1955) menyebutnya sebagai Consumption Hungry, yaitu kondisi di mana seseorang terdorong untuk terus membeli demi kepuasan batin yang tak ada habisnya (Fromm, 1955; Miles, 2021).
Menurut Tanjung & Ariyanto (2025), perilaku konsumtif adalah kecenderungan seseorang membeli barang dan jasa bukan atas dasar kebutuhan, melainkan karena dorongan hasrat atau pengakuan sosial. Setiaji (1995) dan Zahrah & Mayasari (2022) juga menambahkan bahwa konsumtif berarti membelanjakan uang secara tidak rasional demi simbol keistimewaan.
Aplikasi Belanja Online: Mudah, Cepat, dan... Menggoda
Bayangkan: tengah malam, iseng buka Shopee, ada flash sale, diskon 90%, dan gratis ongkir. Siapa yang bisa tahan? Inilah kekuatan aplikasi belanja online. Berdasarkan Technology Acceptance Model (Davis, 1989), seseorang akan menggunakan teknologi jika ia merasa teknologi itu mudah digunakan dan bermanfaat (Davis, 1989; Miles, 2021).
Menurut Harahap (2018) dan Kotler & Keller (2023), aplikasi belanja online adalah platform digital yang memudahkan transaksi jual beli dengan fitur pencarian, rekomendasi produk, dan pembayaran instan. Fitur-fitur ini menciptakan rasa nyaman dan efisien bagi pengguna---termasuk mahasiswa.
Namun, indikator seperti kenyamanan, kelengkapan informasi, efisiensi waktu, dan kepercayaan terhadap sistem aplikasi (Fadhilah & Abadi, 2023) hanya memfasilitasi perilaku belanja. Yang mendorong untuk "checkout" tetap bergantung pada individu.
Gaya Hidup: Si Penentu Cara Belanja
Jean Baudrillard (1975) menjelaskan bahwa konsumsi saat ini lebih bersifat simbolik---barang dibeli bukan karena fungsinya, melainkan karena makna yang dikandungnya, seperti status sosial atau identitas. Gaya hidup seseorang, menurut Kotler (1993), mencerminkan aktivitas, minat, dan opini yang mereka jalani dalam keseharian.